Monday, February 9, 2015

Di Atas Kapal


Suatu siang di perairan gugusan Kepulauan Komodo


"Giliranmu, nif."

Aku mengambil kartu dari tangannya, dan meletakkan kartu ber-angka dan warna yang sama ke meja.Kartu di tanganku makin tipis; tanda aku akan segera menyelesaikan permainan ini segera. Game ini mudah, pikirku. 

Dia tidak berkata apapun, tapi seringainya menunjukkan kecurigaan. Mungkin ini ketiga kalinya berturut-turut aku mengambil kartu yang tepat. Sejak pertama kali permainan ini digelar di meja ini, aku belum pernah kalah. Kali ini giliran temanku yang lain mengambil kartu dari tanganku. Entah sudah berapa kali kami bermain.

Gim ini namanya namanya main setan. Mudah saja, di awal permainan, kita harus menyisihkan satu kartu. Sisa kartu dibagi sama rata, dan kita harus membuang kartu yang berpasang-pasang; memiliki angka dan warna yang sama di sepanjang permainan. Di akhir permainan, orang membawa kartu yang tidak punya pasangan; yang pasangannya adalah kartu yang kita sisihkan di awal tadi, adalah orang yang kalah. Dia berkewajiban mengocok kartu untuk pertandingan berikutnya.

Tidak berapa lama, kartu di tanganku habis. Permainan ke-sekian baru saja berakhir. Aku, masih belum kalah, meski tidak selalu menang. Di atas kapal ini, aku punya cara tertentu menghindari kalah main kartu.

***

Omong-omong soal kapal, banyak sekali hal yang bisa diceritakan. Kapal laut, adalah ruang bertemunya semua pengembara. Orang yang merasa penting, tidak punya banyak waktu dan sibuk dengan hal-hal yang harus diurus, tentu akan memilih moda yang lebih cepat. Jadi di sinilah kami semua berkumpul, para pengembara yang tidak sibuk, tidak penting, punya seluruh waktu di dunia, tapi tidak punya uang.

Meski terkesan melarat dan bau karat, geladak kapal tetap sama dengan kabin pesawat, kita tetap bisa bertemu orang yang asalnya bermacam-macam. Dari Sumbawa ke Labuan Bajo, kami bertemu seorang Belanda yang sinar matanya sepi. Kebetulan dia bertanya tentang peta, seorang dari kami membantunya menjelaskan pulau-pulau dan posisinya sekarang. Tak lama, aku kaget mendengar dia berkeliling dunia; dari Eropa hingga kapal ini, dengan sepedanya. Dua tahun dia tidak bertemu keluarganya, belum menikah, dan itu cukup menerangkan sinar matanya yang seperti rumah kosong.

Di jalur sebaliknya, dari Labuan Bajo ke Sumbawa, lain lagi orang yang kami temui. Kali ini seorang Jerman, namanya Karim. Berbeda dengan orang sebelumnya, dia seorang pemain selancar. Orangnya periang, ia bersama kami dari Labuan Bajo. Dia duduk di dekat kami di kapal, dan kami bercakap-cakap sedikit. Semua percakapan menjadi cair saat dia berkata dari kota Dortmund dan terlahir sebagai fans BVB. Sepak bola memang bahasa universal.

Orang ini cukup menyenangkan, dan dia sedikit membandingkan Indonesia dengan negaranya. Dia berkata bahwa Indonesia itu indah, namun tidak tertata. Jerman itu rapih, tapi kaku dan tidak punya alam seindah Indonesia, dia menutup perbandingan itu dengan satu hal yang agak lucu: dia agak heran karena warung-warung Indonesia menyediakan wifi gratis dimana-mana, sementara untuk segelas air, kita harus membayar.

Lucu juga mendengar seorang asing bisa bicara seperti itu. Pembicaraan kami saat itu campur aduk antara sepakbola, kondisi negara masing-masing, hingga sekedar mengomentari musik dangdut di kapal yang berisik luar biasa. Tak berapa lama, dia pergi menyewa kasur untuk tidur.

Lain lagi dengan orang lokal. Agak aneh mendapati bahwa kami lebih sering berbicara dengan orang asing dibanding orang lokal di kapal ini. Mungkin karena kebanyakan orang lokal disini bepergian dengan kapal sebagai rutinitas, mereka tentu sudah lebih terbiasa, terutama di wilayah Timur ini, dimana kapal sering digunakan seperti halnya taksi atau bus di kota Jakarta. Atas dasar ini, ada perbedaan nasib, yang membuat kami menjadi orang 'asing' bersama dengan orang asing yang sebenarnya, yang memang sama-sama bertujuan untuk jalan-jalan.

Tapi jangan khawatir, orang lokal juga baik. Pedagang jajanan dan kopi di kapal lumayan ramah, mereka juga murah senyum. Setidaknya ni bisa menjadi semacam penawar rasa pahit dari harga segelas mi instan yang bisa sampai 15.000-20.000 Rupiah seporsinya.

Yang terburuk dari setiap kapal feri? Banyak kesulitan yang akan kita hadapi di kapal feri, antara lain makanannya yang terbatas, hiburan musiknya yang tidak terduga, sampai tempat duduk yang harus berebut. Tapi hampir pasti anda mengeluh tentang wc nya. 

Air bersih di tengah laut adalah barang langka, itu yang menyebabkan harga mi instan dan kopi berlipat. Ada air bersih pun, warnanya masih agak keruh dan berasa sedikit asin. Tapi di wc kapal feri, kelangkaan itu diperparah dengan keadaan toilet yang kotor dan jorok. Aku jamin buang air besar di kapal feri tidak akan nyaman. Kapal yang secara konstan bergoyang, ruang yang jorok, dan kekhawatiran akan digedornya pintu toilet oleh orang lain berpotensi membuat ritual anda tidak khusyuk.

Namun tidak semua kapal jelek. 

Ada satu kapal yang kami tumpangi di selat Lombok, kalau tidak salah namanya Putri Yasmin, yang sangat bagus dan bersih. Kapal itu punya ruang lesehan dengan karpet yang masih baru dan tebal, lengkap dengan AC. Jarang kami dapat tempat dimana kami bisa berleyeh-leyeh tidur, berselonjor di angkutan umum, terutama kapal. Sebutir Antimo dan anda bisa tidur lelap dengan kaki lurus, itu sebuah kemewahan besar di angkutan umum manapun.

Lain waktu di lain kapal, kami mendapat kursi berjejer di depan sebuah tv. Setelah sejam berjalan, si televisi mulai memutar film-film secara acak. Film pertama Apocalypto, ada perang antar suku-suku berbahasa asing, dilanjutkan dengan sebuah film Indonesia dimana Herjunot Ali dan Laudya Cyintia Bella saling tertawa renyah sambil memeluk dinding yang sama, dari sisi yang berbeda. Film ketiga film horor Indonesia yang agak jorok, tidak jelas lucu atau seram. Kami tidak memegang kendali atas televisi itu, dan kami pasrah saja selama berlayar dengan pilihan yang ada.

***

Tapi saat permainan kartu ini berlangsung, kami sedang beruntung. 

Di kapal ini, kami mendapat tempat yang teduh di bagian depan kapal. Kami menempati sebuah meja bulat yang cukup luas untuk berlima, dengan jumlah kursi yang sama. Cuaca sedang baik, angin tidak bertiup kencang, udara tentu lebih segar daripada di kabin yang penuh sesak, meski ada yang merokok. Kami mendapat pemandangan bagus 180 derajat ke kanan dan kiri kami. Perjalanan selama delapan jam di atas laut, idealnya, tentu mengharuskan kita memiliki tempat yang aman dan nyaman untuk duduk dan bersantai, dan di titik kami duduk saat itu mungkin kami mendapatkan semuanya. Bersandar di tempat ini dengan kacamata hitam sambil membaca buku tentu menyenangkan.



"Main lagi nggak?"

Aku menepuk-nepukkan tanganku ke meja, tanda siap menerima kartu.

"Tapi kamu kok belum kalah juga sih nif?"

Aku menuding ke arah mata mereka, semua orang; Fadil, Sinto, Bana, dan Tiki, semua menggunakan kacamata, bening maupun hitam. Tak perlu susah-susah menebak kartu mana yang harus kauambil saat kedua mata semua lawan mainmu memantulkan bayangan kartu yang dipegangnya.

Secara keseluruhan, delapan jam di atas kapal cukup menyenangkan.

No comments:

Post a Comment

Share