Tuesday, February 17, 2015

Siang Hari di Pantai Pink, Pulau Komodo





"Nih. Asik banget gak sih?"

Ya, rasanya tempat yang diperlihatkannya itu memang asik banget. Di layar handphonenya, dia menunjukkan sebuah foto. Foto yang asik banget itu diambil di puncak sebuah bukit. Foto itu menangkap panorama pantai yang luar biasa. Lekukan bukit-bukit kuning yang melengkung membingkai pantai, dengan langit dan laut yang sama-sama biru. Di kejauhan, pulau-pulau yang lekuknya tidak kalah seksi seolah mengapung di atas laut. Perpaduan warnanya luar biasa. Aku tidak memperhatikan siapa orang yang mengambil gambar tersebut, sampai Tiki berseru girang.

"Itu Nicholas nif!"

Pantas saja tempat ini dilabeli asik banget olehnya. Pesona Rangga pada gadis-gadis sama dengan kadar feromon Cinta pada kaum adam. Kalau aku punya rasa terhadap Dian Sastro, perempuan tentu memuja Nicholas Saputra sedalam-dalamnya. Ini adalah fakta.

Tapi lebih jauh dari itu, tempat foto-foto itu diambil luar biasa. Foto itu kugeser-geser terus ke bawah, dan diam-diam tumbuh keinginan untuk datang kesana. Kepulauan Komodo.

***



Tidak sampai sebulan setelahnya, aku melompati tepi dermaga, masuk ke dalam sebuah kapal nelayan, untuk memulai perjalanan ke tempat yang sebulan lalu kami intip lewat Instagram. Saat itu, kami ditemani berlima ditemani oleh seorang kapten dan dua orang awak kapal. Bapak kapten tentunya yang paling tua dan berkumis. Mereka ramah sekali, sayangnya saya lupa nama mereka. Bapak Kapten tampak bersiap membuka pembicaraan begitu kami selesai mengambil posisi.

"Kira-kira empat jam perjalanan. Pokoknya dinikmati saja. Ini ada teh dan kopi, silahkan ambil sendiri saja."

Udara masih agak dingin, matahari masih bersiap memanjat bukit. Bukit-bukit yang kemarin kami lihat penuh lampu rasanya masih belum terbangun. Kami ambil cangkir dan menyeduh teh masing-masing, sambil menggerogoti biskuit sari gandum yang kami bawa dari Labuan Bajo. Angin laut menerpa, sambil kami mengobrol kecil dengan si kapten. Tak berapa lama, matahari muncul juga membawa rasa hangat.

Melihat matahari terbit tidak pernah senikmat ini.

***

Sinar matahari yang meninggi mulai menyilaukan mata. Aku terbangun dan memandang sekeliling. Rasa-rasanya, tidak lama lagi kami akan sampai Pantai Pink di Pulau Komodo. Waktu menunjukkan pukul sembilan saat kami mulai melihat gugusan pulau mengepung kapal kami. Pulau-pulau ini berlekuk-lekuk, dan warnanya kuning kehijauan, kontras dengan laut dan langitnya. 



Benar saja, Pak Kapten menunjuk sebuah garis putih tipis di kejauhan, menandakan kami akan menepi di sana sebentar lagi. Semakin dekat kami ke pantai, air yang kami apungi makin jernih. Ada penyu berwarna putih melintas di bawah kami! Ini luar biasa. Aku belum pernah melihat penyu di luar penangkaran sebelumnya. Dan ternyata satwa langka yang bebas berkeliaran itu ada.

"Sekarang sudah sampai."

Kami masih berjarak sekitar beberapa belas meter dari tepi pantai.

"Kapal tidak bisa sampai pinggir, banyak terumbu karang di sekitar pantai. Akan rusak kalau kita menepi. Hati-hati kalau berenang, jangan menginjak karang, dan jangan berenang terlalu tengah."

Sesungguhnya aku tidak menyimak. Aku ternganga menatap lautan kaca di bawah kapal kami. Seolah kami sedang berlayar di atas kaca patri, dengan ikan-ikan dan terumbu karang yang mewarnai kaca itu. Ikan ikan bergerak-gerak dalam tempo yang hampir sama. Mereka bergerombol dan bergoyang kanan kiri, seakan sedang menunggangi arus.

"Waktu kita lumayan lama, jam 11 silahkan kembali kesini. "

Aku orang pertama yang melepas baju dan melompat. Byur! Aku tidak pernah merasa begitu bersyukur bisa berenang. Baru aku sadar, 2/3 Bumi adalah air. Pikirku secara dangkal, bisa berenang berarti membuka kemungkinan kita untuk menjelajah sebagian besar planet ini. Ini adalah alasan yang baik untuk mulai belajar berenang dan menabung untuk mendapat diving license.












Dari balik kacamata renang, aku melihat warna-warninya dunia bawah laut. Terumbu karang bergoyang-goyang diterpa arus laut yang santai. Bentuknya beragam. Ada yang terlihat lembut bergoyang-goyang seperti beludru, ada yang runcing, dan ada yang kokoh berongga, tempat bersembunyi ikan-ikan kecil dan sejenis kepiting. 

Ikannya sendiri sangat banyak. Berenang disini seperti tercebur dalam es campur. Bedanya kolang-kaling, nangka, dan cincaunya adalah ikan hidup. Seakan seseorang baru saja menumpahkan sejuta ikan ke perairan tempat kami berenang. Ikan-ikan warna-warni ini jinak-jinak, dan kita bisa berenang santai diantara mereka. Sinto, yang fobia ikan, tampaknya tidak panik saat berada diantara mereka. Itu hal bagus, karena rasanya kami tidak akan sempat mengurusi kawan yang pingsan di tempat seindah ini.




Kami berenang berkeliling di sekitar kapal, dan akhirnya menepi di pantai. Dengan warna pasir merah muda, jelaslah bahwa pantai ini pantai impian. Pantai milik Leonardo DiCaprio dalam film "The Beach" pun menurutku kalah cantik. Terlebih disini tidak ada hiu pemakan manusia, sepanjang pengetahuanku. Meski tentu aku awas bahwa komodo bisa berenang antar pulau - hal lain yang perlu diwaspadai.

Sayangnya, saat aku berjalan mendekati batas pasir dan tanah dimana pohon mulai tumbuh, aku menemukan beberapa sampah plastik berserak. Sampah-sampah itu terkumpul di sebuah cerukan. Aku mengambil salah satu botol, dan memasukkan sebagian pasir pink ke dalamnya untuk kubawa pulang. Rasanya agak bersalah tidak membantu membersihkan sampah disana saat itu.

Matahari sudah mulai tinggi. Lelah berenang dan terbakar terik, kami kembali ke kapal. Alangkah senangnya perut ini melihat sudah ada panci dan piring tertata rapi di meja kecil kapal.

"Nasinya sudah tanak, mari makan bersama"

Aku agak terkejut, mengingat rasanya Pak Kapten dan awaknya tidak membawa alat masak. Tiba-tiba aku ingat, ada pisang goreng hangat yang kami makan saat sedang berada di tengah perairan selepas subuh tadi.Oke, air panas bisa muncul dari termos. Tapi pisang goreng renyah? Muncul darimana semua itu? Agak heran, aku lempar satu pertanyaan padanya sambil memeras celana pantaiku.

"Ini kapan masaknya pak?"

"Hahahaha. Itu rahasia pelaut!"

Sambil mengunyah pisang goreng yang entah darimana, dia melanjutkan.
"Biar ombak setinggi tebing, nasi hangat harus tersedia di piring!"

Tiba-tiba aku ingat kapal bernama Baratie.


Jurnal perjalanan Komodo, Agustus 2013.

No comments:

Post a Comment

Share