"Dil, habis display ngapain, nih?"
"Nggak tau."
"Anak-anak pada kemana sih?"
"Gatau, kayaknya pada buat FuturArc deh. Rajin-rajin banget, pada langsung kerja lagi aja habis display."
"Oh."
Obrolan itu terpotong hening yang cukup panjang di depan studio,
Fadil seperti biasa, mulai mengisap rokok, sementara saya, bengong seperti biasa.
Sampai tiba-tiba sesuatu terlintas.
"Dil."
"Ha?"
"Deadlinenya kapan sih, FuturArc?"
"Gatau, kayaknya besok atau lusa deh."
"Oh."
Suasana kembali hening, tapi tidak sepanjang yang pertama.
"Emang kenapa, nif?"
"Jadi gini,
Saya menarik napas,
aku punya ide."
Idenya saat itu adalah,
bagaimana kalau jembatan penyebrangan dijadikan lebih dari sekedar tempat menyebrang?
Pendapat kami saat itu, adalah, gedung-gedung kantor yang tinggi di kota-kota besar, tidak terhubung satu sama lain - meski mepet-mepet. Jadi disini, selain untuk menyebrang jalan, jembatan dikonsep ulang untuk menghubungkan gedung-gedung yang individual itu dengan penambahan fungsi seperti kafe, kebun, dan taman untuk duduk-duduk.
Ide tadi saya ceritakan ke Fadil, dan tidak sampai sejam, rasanya kita sudah duduk di depan komputer masing-masing. Langkah berikutnya, mencari orang untuk membuat essay-nya. Dimana tiba-tiba datanglah seorang Hendro Prasetyo.
Sekitar (kira-kira) 24 jam kemudian, panel berikut jadi.
Panel 1
Panel 2
Yah, saya agak lupa ide besarnya, mungkin bisa dilihat di poster saja, ya.
Pada akhirnya memang, untuk kaliber FuturArc, kami gagal masuk nominasi.
Tapi daripada didiamkan di komputer selama satu setengah tahun, tampaknya lebih baik di share.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk Muhammad Fadlil dan Hendro Prasetyo.
Golongan pemuda yang mau repot habis display...
No comments:
Post a Comment