Tuesday, June 24, 2014

Malioboro as Festival-Play-Scape - Sayembara Penataan Kawasan Malioboro, Yogyakarta, 2014. Dinas Pekerjaan Umum.

Diantara sekitar empat belas hari bekerja, 
sembilan kepala yang bertubrukan, 
serta seratus debat eksekusi desain,
karya ini muncul.

Ini satu sayembara yang saya kira aneh lagi. Aneh karena kali ini saya dan teman-teman turut menyumbang ide untuk sebuah jalan yang begitu wajar kita lewati sehari-hari. Mungkin tidak aneh buat yang lain. Mungkin anehnya cuma buat saya. Kenapa? Karena seminggu sekali saya lewat sini, menuju rumah kakek-nenek saya di daerah Ngasem.

Memulainya luar biasa bingung. Rumit.

Kami bersembilan susah sekali menemukan titik berangkatnya. Sekitar seminggu kami berbingung-bingung sampai akhirnya kami memutuskan untuk membuat survey - rasanya baik juga kalau kami menggunakan suara orang-orang sebagai titik tolak dalam berpikir. Kami akhirnya membuat beberapa pertanyaan seputar Malioboro untuk disebar di beberapa media sosial, dan hasilnya akan kami jadikan sebagai acuan untuk berpikir dan menentukan prioritas masalah yang mana yang paling mendesak. Mungkin hasil survey belum sepenuhnya benar, tapi kalau dibandingkan, rasanya suara 100-sekian orang lebih bisa dipercaya dibanding suara 9 orang-peserta lagi.

Dari hasil survey, kami menemukan bahwa sebagian besar ternyata cukup puas dengan Malioboro sekarang. Sebagian besar sepakat bahwa masalah pedestrian, dan baliho adalah hal yang paling mengganggu. Parkir kendaraan juga dianggap sangat mengganggu, meski ternyata sebagian besar masih menggunakan kendaraan pribadi. Kami mulai menemukan titik terang, bagian mana yang harus dihilangkan, bagian mana yang harus didesain, dimana untuk lebih detailnya bisa langsung dibaca di panel. Lalu, setelah membaca karakter masyarakat Jogja, kami memutuskan untuk menggunakan konsep 'Festival' sebagai generator aktivitas, dimana nantinya konsep ini akan diaplikasikan dalam bentuk street furniture modular yang fleksibel. Kami cuma menawarkan kesempatan apa yang bisa dilakukan dengan modul-modul sederhana yang kami rancang - dan sebenarnya tanpa membuat desain aktual.

Ternyata, diantara 5 finalis, hanya kami yang tidak mengajukan underground pass sebagai bagian dari rancangan utama. Desain ini menurut saya pribadi bersifat konklusif. Kami punya hasil survey. Kami punya beberapa data tentang karakter orang Jogja. Dan kami tahu bagian mana saja yang perlu dihilangkan dan ditambah. Apa yang kami ajukan tidak kurang, dan tidak lebih. Karena sebenarnya kami yakin, Malioboro itu nggak jelek, cuma ketutupan benda-benda jelek. 

















Pada akhirnya, kami belum berhasil juara. Saya merasa agak wajar, karena rasanya sebagai orang yang tinggal di Jogja, rasanya saya pribadi kurang berusaha lebih. Saya tidak mencoba meriset, membaca, atau berpikir lebih dalam.  Ya, kami sendiri kaget kok, masuk lima besar. 

Rasanya benar kata Tante Siska, guru bahasa Inggris saya, saat memulai sesuatu, lebih baik kita memposisikan diri sebagai orang awam, bukan sebagai ahli, sehingga kita terbuka terhadap segala hal. Kami belajar banyak dari karya-karya yang lain, dan dari 'ceramah' tentang filosofi Jogja yang diberikan setelah presentasi. Tercerahkan. Mungkin kami lupa diri karena merasa mengenal medan. Mungkin kami luput melihat sesuatu karena sudah menganggapnya hal biasa. Apa jangan-jangan saya sudah turut serta menyumbang masalah di Jogja? Saya takut, kutipan yang saya lihat di internet ternyata benar adanya.

"Otak yang sama, yang sudah menimbulkan berbagai masalah, tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah itu." 
Albert Einstein.

Tapi ya, sudahlah.
Tidak ada kecewa, karena kami belajar banyak..
Buat saya pribadi, cukuplah kalau hari ini lebih baik dari kemarin.

Tim Malioboro:
Gata Guruh Mahardika
Herdyanto Tirtoputro
Reza Arlianda
Rizki Bhaskara
Muhammad Fadlil
Baskoro Haryo Pamungkas
Syinthia Widya Wimala
Hanief Pitoyo Wicaksana
Tissa Florika
dan orang orang yang sudah mau mengisi survey.

Terimakasih.

Monday, June 16, 2014

The Sanctuary - Sayembara Penataan Kawasan Pulau Gili Iyang, Sumenep, 2014. IAI.

Tidak pernah terbayang akan memberi ide desain untuk sebuah pulau yang bahkan namanya saja baru pertama kali saya dengar. Tapi itulah yang terjadi.

Beberapa anggota keluarga dan teman sempat heran dengan saya, kenapa saya tidak bergerak cari kerja, atau cari sekolah, atau apapun setelah wisuda. Ya, saya bisa dibilang sedang dalam masa tenggang. Masa berlaku sebagai mahasiswa sudah habis, tapi masih ragu-ragu untuk masuk ke dunia kerja karena beberapa hal. Untungnya saya tidak sendiri. Ada sekitar belasan orang yang seperti saya, dan dengan senang hati mau mengisi waktunya untuk hal-hal produktif.

Saya ada di lingkungan kompetitif kelas berat, sehingga kalau tidak mau hilang, ya harus terus berbuat. Sebelum saya dicap pemalas, rasanya ada baiknya ini saya share. 

Jadi pulau ini ada di sebelah Timur Pulau Madura, dimana kita bisa kesana menggunakan kapal dengan waktu kurang lebih 1 jam. Pulau ini memiliki kadar oksigen (O2) tertinggi kedua di dunia, setelah Laut Mati. Kabarnya, penduduk disini berumur panjang, dan dari TOR yang kami baca, mereka ingin agar pulau ini nantinya mampu menjadi salah satu tujuan utama wisata kesehatan.

Namun, apa yang kami lihat dari pencarian-pencarian kami di internet, rasanya ambisi itu masih jauh panggang dari api. Dan melalui diskusi dan debat yang panjang, serta mempertimbangkan data yang ada (walau yang kami dapat hanya sedikit, dan rasanya kurang mendalam), kami mengajukan sebuah konsep yang kami namakan The Sanctuary.

A sanctuary, in its original meaning, is a sacred place, such as shrine. By the use of such places as a safe haven, by extension the term has come to be used for any place of safety. this secondary use can be categorized into human sanctuary , a safe place for humans,such as political sanctuary: and non-human  sanctuary, such as an animal or plant sanctuary.

Kami menggunakan definisi kata tersebut sebagai inspirasi, dimana secara garis besar, konsep ini ditujukan untuk melindungi apa yang menjadi kelebihan utama pulau ini, yaitu O2. Setelah melakukan brainstorming, kami memutuskan untuk membagi area pulau menjadi dua zonasi utama, area sanctuary (gampangnya, ini adalah area dimana akan dimaksimalkan penghijauan, dan direncanakan menjadi area yang bersih dari bangunan permanen), serta area sabuk sepanjang garis pantai (dimana pembangunan dan area komersil akan dimaksimalkan di sepanjang pantai). Di satu sisi, ini akan melindungi sumber O2 yang sudah ada (yang banyak terdapat di pusat pulau), serta mengarahkan pembangunan merata di sisi Barat dan Timur pulau nantinya, mengingat dari citra Google Earth, sebagian besar perkembangan pulau ada sisi Barat, yang dekat dengan Madura. Konsep besar ini nantinya kami jabarkan dalam bentuk aktivitas, zonasi, dan kami anak-kan menjadi konsep-konsep yang lebih kecil, yang selanjutnya kami terjemahkan menjadi desain oleh masing-masing anggota. Berhubung ada delapan anggota, banyak sekali gambar perspektif yang kami masukkan dalam satu panel. Ini salah satu kelebihan main keroyokan.

Untuk penjabaran lebih jelas, dan strategi-strategi desain yang kami ajukan, bisa langsung dilihat di panel. Apa yang saya tulis di atas sebenarnya juga hanya menyingkat apa yang ada di panel, terutama bagian pembukaan. Karya ini sebenarnya belum sempurna, dan mungkin masih jauh dari realisasi, serta ada beberapa tulisan yang lupa diganti, ada beberapa satuan yang hitungannya belum kami masukkan, dan kesalahan-kesalahan lainnya. Tapi lebih baik saya biarkan apa adanya, panel ini utuh sebagaimana kami kirimkan.

Nama pulau ini, adalah Pulau Gili Iyang.
Pengalaman dan diskusi yang menyenangkan, bersama orang-orang yang menyenangkan.

Kredit terbesar untuk teman-teman di bawah ini.
Yang bekerja hebat uhanya demi panel yang padat.
Yang masih tabah menunggu rekening bertambah.

Super Great Team:
Alexander Octa
Rizki Bhaskara
Gata Guruh Mahardika
Herdyanto Tirtoputro
Muhammad Fadlil
Reza Arlianda
Baskoro Haryo Pamungkas
Hanief Pitoyo Wicaksana








Share