Wednesday, May 25, 2016

Trayek Panekuk Pisang - Singapura Malam Hari

Changi Airport, empat tahun sudah lewat sejak terakhir kali saya berdiri di dalamnya. Ternyata butuh waktu 4 tahun untuk kembali mengecap passport saya - di baris imigrasi yang sama. Singapura selalu menarik buat saya. Selalu ada hal baru yang dibangun tiap tahunnya. Jaraknya pun hanya 1-2 jam dengan pesawat dari Indonesia. 

Empat tahun yang lalu, saya dan teman satu angkatan saya melihat Super Tree dan Garden by The Bay dirakit dari atas atap rumput Marina Barrage - fasilitas pengontrol air tawar sekaligus ruang publik warga Singapura, dan sekarang saya melihat bangunan itu sudah jadi, bahkan sudah masuk di selebaran informasi wisata yang kami dapat di airport. Ya, kali ini saya berjalan dengan grup yang jauh lebih kecil - hanya bertiga.

Hari sudah cukup larut, setelah mengambil beberapa peta, kami bertiga bergegas menukar uang dan membeli tiket MRT menuju Hongkong Street. Kami berencana bertemu teman kami Antonius Richard, yang kebetulan bekerja di Singapura. Kami mengabari dia sore harinya tepat sebelum masuk pesawat, dan ia mengiyakan untuk bertemu malam hari di depan kantornya - karena pembicaraan itu, saya yakin dia akan lembur hingga larut. Dia juga memberikan beberapa rekomendasi tempat menginap, dan kami berencana mengambil satu di Hong Kong Street, supaya lebih dekat.

Nyaris tengah malam, kami sampai di Hong Kong Street. Kami segera check-in di Backpacker Hostel, tepat di depan kantor Richard, dan segera meminta password wifi-nya, untuk menghubungi Richard. Kami memilih untuk menghubungi Richard melalui Line dibanding mengetuk pintu kantornya secara langsung, meski jarak kantornya hanya 10 meter dari lobi penginapan kami. Tidak lama berselang, kami keluar penginapan untuk bertemu dia. Saya lihat dia berdiri di depan penginapan yang salah, dua bangunan di sebelah penginapan kami. 

"Hei, Cad!"

"Hei!"

Sejujurnya, ini mungkin adalah kali ke empat saya bertemu langsung dengan Richard. Saya lebih sering menemui dia di linimasa media sosial dibanding dunia nyata. Kami berempat saling sapa, dan tampaknya benar, dia sedang lembur.

"Jadi, kenapa nggak jadi nginap di Rucksack Inn?", tanya Richard.

"Tadi kita cari-cari nggak ketemu tuh."

"Ah, nggak mungkin. Ada kok di situ. Sebelah kantorku."

"Mustahil. Kita nggak nemu tuh."

"Ada! Di sebelah situ!"

"Mana?", saya setengah tidak percaya.

Richard mengajak kami berjalan menyebrang dan setelah lewat beberapa bangunan, dia menunjuk sebuah pintu kecil. Pintu itu menempel di lorong pedestrian di salah satu bangunan, dan di dalamnya hanya ada tangga masuk ke dalam. Di atas pintu itu, tertulis nama penginapan pada papan kecil: Rucksack Inn. Well, mungkin mereka harus membuat papan nama mereka lebih besar untuk menarik perhatian saya.

"Kalau begini mana kelihatan dari jalan..."

"Hahaha. Ya memang begitu, tapi ada kan? Aku tahu persis, soalnya kadang beberapa teman kantorku ada yang menginap disitu dibanding tidur di kantor."

"Ya, mungkin lain kali kita menginap disana. Ngomong-ngomong, mau kemana kita sekarang?"

"Kita jalan-jalan muter aja di sekitar sini. Berhubung kita arsitek semua, harusnya banyak objek yang menarik. Dekat sini ada Park Royal kalau mau lihat, terus mungkin kita bisa lanjut jalan ke Clark Quay dan sekitarnya. Gimana?"

Sejujurnya, kami bertiga tidak punya rencana sama sekali. Jadi kami mengiyakan saja dan langsung berjalan-jalan mengekor Richard kemanapun dia mengajak. 

Tidak beberapa lama, kami melihat Park Royal on Pickering dari tempat kami berjalan. Bangunan ini cukup menarik perhatian saat saya melihatnya di internet. Bangunan ini terdiri dari beberapa massa kotak-kotak yang dihubungkan oleh semacam jembatan-jembatan yang berbentuk sangat unik. Jembatan-jembatan ini berfungsi sebagai taman dan berbentuk seperti terasering yang berlekuk-lekuk yang melayang diantara kotak-kotak massa bangunan yang geometris. Hebatnya, lantai dasar bangunan sebagian besarnya bisa diakses publik. Saya sendiri sangat tertarik pada bagaimana arsitek bangunan ini mampu meyakinkan kliennya untuk memberi sebagian luasan area terbangunnya kembali pada publik, mengingat fungsi bangunan yang sangat komersil.

Saya terpikir lagi, sebenarnya apa yang membuat satu desain (bangunan/kawasan) menjadi "bagus" ? Kliennya? Arsiteknya? Penata kotanya? Atau malah regulasi bangunannya? Bahkan saya sendiri masih agak bingung dengan definisi "bagus" yang saya maksud...

Kami melanjutkan jalan lagi hingga akhirnya sampai di depan Clark Quay. Clark Quay mungkin bisa dibilang sebagai pusat nongkrong malam anak muda di Singapura. Dari kejauhan pun kami bisa mendengar dentuman musiknya. Letaknya bersebelahan dengan sungai, sehingga permukaan air yang gelap seolah menggandakan pendar lampu merah muda di atasnya. 

Ada satu jembatan yang cukup besar yang menghubungkan tempat kami berdiri dengan sumber keriuhan di dalam Clark Quay. Namun jembatan ini sendiri tampaknya sudah cukup riuh. Tampak ada ratusan orang berdiri di jembatan ini. Dan tampaknya semua ras seolah bercampur baur di dalam sini. Saya melihat orang kulit kuning, putih, sampai hitam saling bersenda gurau tertawa-tawa di atas jembatan ini. Bau asap rokok, keringat, minuman soda dan bir bersatu membentuk atmosfer yang mengingatkan saya pada satu bagian jalan di Legian, Bali. Otomatis saya mengambil jalan agak di pinggir jembatan sebagai antisipasi. Saya pernah nyaris dimuntahi wanita mabuk saat sedang duduk santai di Mini Mart Kuta, jadi, ya, saya agak waspada terhadap bau alkohol. Terlebih baju saya sekarang terbatas.

Kami berputar-putar sedikit, dan melihat-lihat apa saja yang ada di dalam kanopi Clark Quay sambil mengobrol. Kami berempat berbicara tentang cukup banyak hal, membanding-bandingkan Singapura dan Indonesia, objek apa saja yang bisa kami kunjungi esok paginya, dan membahas beberapa info kompetisi arsitektur yang sedang berlangsung. Lama kelamaan, bunyi dentuman musik makin berkurang, dan suasana menjadi makin sepi, tidak berapa lama, kami kembali ke Hong Kong Street.

Waktu terasa berlangsung cepat dan cukup menyenangkan, melihat Singapura di malam hari. Kami bertiga akhirnya berpisah dengan Richard, dan dia segera kembali ke kantornya, Hong Kong Street 29.

Lembur lagi, pastinya.

Air Sumur, Air Galon

Saya baru pulang dari rumah sakit, dan beberapa tetangga di depan rumah saya sedang ribut-ribut. Saya pikir ada apa, ternyata air galon mereka habis. Kabarnya, sudah dicari kemana-mana,bahkan hingga satu supermarket di dekat terminal Batubulan sana, stoknya kosong semua. Minimarket dan warung warung dekat rumah juga habis.

Tak berapa lama, saya masuk rumah dan mengecek persediaan galon air. Ibu saya biasanya menyiapkan empat galon air sebagai persediaan. Setelah saya lihat, ternyata tiga galon sudah kosong, dan satu yang terpasang airnya hanya tersisa setengah. Meski hari ini kami bisa selamat dari bencana ketidakadaan galon ini, tampaknya besok kami harus mencari galon air di tempat yang agak jauh.

Heran. Kenapa tidak masak air saja?

Berasa menemukan ide yang cerdas, saya coba mengisi air dari keran dapur ke panci. Saya mau menunjukkan bahwa ada lho, cara sederhana seperti ini. Tapi ada yang aneh. Kucuran airnya terasa agak berbau. Saya ciduk lalu kumurkan sedikit, lalu saya segera muntahkan. Baunya seperti... logam. 

Belakangan saya tahu, biasanya rumah saya menggunakan air pam. Hari itu air pam juga sedang macet, lalu dialihkan ke air sumur. Air sumur rumah saya sudah tidak pernah dipakai lagi sejak lama, karena rasanya aneh. Bahkan untuk dipakai mandi saja sudah aneh, apalagi diminum? Jelas saja semua pada panik karena galon habis.

Saya ingat-ingat lagi kapan terakhir kali minum air yang dimasak dari sumur sendiri ya? Sepanjang kuliah di Jogja, saya selalu punya galon karena nggak punya dapur untuk masak air di kamar kos. Saat mengontrak bersama teman-teman pun, kami masih setia pada galon merek tertentu. Jadi kapan saya terakhir minum air yang dimasak? 

Dahulu, ada iklan yang mengisahkan bahwa ada beberapa anak yang tidak sekolah karena harus mengambil air jauh-jauh dengan menempuh jarak beberapa kilo dengan berjalan kaki. Mereka harus bolak balik mengambil air, sehingga memotong waktu sekolah. Kemudian dikisahkan mereka mendapat bantuan dengan cara mendekatkan sumber air tersebut dengan infrastruktur yang baik. Si anak pun berterima kasih: "Sekarang, sumber air sudekat. Beta tidak terlambat lagi". 

Lucu saja kalau ternyata sumber dari air galon yang saya minum di rumah saya ternyata berasal dari  mata air yang jaraknya puluhan kilo dari rumah saya. Karena artinya sumber air saya tidak lebih dekat dari mereka, dong?

Karena hal ini, saya jadi sedikit penasaran.

Sejak kapan kita jadi ketergantungan galon/air minum kemasan?
Berapa banyak orang yang masih minum air yang dimasak dari sumur?
Apa hanya di rumah saya saja yang air sumurnya sudah jelek?
Begitu banyak pertanyaan, tapi saya tidak berniat mencari jawabannya sekarang.

Sekarang lebih penting cari galon.

Setrika Otak

Jarang-jarang saya menyetrika.

Saya paling tidak betah dengan kegiatan bernama menyetrika. Mengusap-usap kaos, kolor, dan kemeja berulang-ulang dengan logam panas  sama sekali tidak menyenangkan buat saya. Saya tidak pernah cocok dengan kegiatan melakukan sesuatu berulang-ulang di satu tempat. Gosok sana, semprot pengharum sini, lipat situ, tumpuk. Gosok sana, semprot sini, lipat situ, tumpuk... Dan seterusnya. 


Saya tidak pernah dengan suka hati menyetrika, karena itu, saya adalah penggemar jasa cuci berbayar sepanjang kuliah. Ibu-ibu tukang cuci selalu menyambut saya dengan sumringah. Rekor saya menyetor pakaian dalam sekali waktu adalah lima belas kilo. Nama saya selalu dihapal dengan ibu-ibu tukang cuci, sehingga satu waktu saya lupa membawa uang, mereka membiarkan saja saya lepas tanpa membayar, mereka yakin sekali saya akan kesana lagi beberapa hari lagi. Mungkin pikir mereka saya tidak akan kabur, karena saya yang butuh mereka. 


Tapi bukan berarti saya tidak pernah mencuci. Sekalinya saya mencuci sendiri, saya hanya mencuci kaos-kaos yang sifatnya dipakai asal-asalan dirumah saja, celana dalam, baju barong, kaos kaki, ataupun jersey futsal. Kenapa? Mudah saja, karena saya tidak perlu menyetrika mereka. Tidak ada yang peduli baju saya masih lecek atau sudah licin di kamar kos saya. 


Yang benar-benar saya hindari adalah menyetrika.


***


Suatu hari, panas Jogja begitu terik, dan saya bangun agak siang pada hari Sabtu. Saya habiskan awal hari saya dengan bergoler-goler di kasur tanpa berbuat apapun. Hal ini berlangsung biasanya antara setengah jam hingga satu jam, sampai akhirnya rasa malu pada diri sendiri tiba-tiba muncul.


"Tidak bisa begini. Bangun, Hanif. Kamu harus produktif hari ini.", biasanya adalah kalimat yang muncul pertama dalam hati.


"Tapi saya masih mengantuk, lagipula mau apa di luar?", adalah kalimat yang sering muncul mengikuti kalimat pertama.


Monolog dalam otak saya biasanya terdiam selama beberapa saat, hingga akhirnya muncul kalimat ketiga, "Apa yang saya bisa perbuat hari ini?".


Jawaban atas kalimat ketiga, biasanya adalah kembali tidur, atau menjelajah internet - yang berarti jari tangan saya akan menempel di tetikus hingga siang hari berlalu. Saya bukannya tidak lapar, hanya saja saat pagi sudah lewat, saya akan menggabung porsi sarapan dengan makan siang. Hal ini lebih praktis, dan tentu lebih hemat.


Kegiatan bergoler-goler saya di kasur akhirnya mendaratkan pandangan saya kepada keranjang cucian saya di pojokan kamar. Keranjang bundar itu terbuat dari rotan lengkap dengan tutupnya, mirip seperti ember air. Di dalamnya sudah saya lapisi dengan kresek hitam yang cukup besar untuk menampung pakaian. Biasanya, sebelum keresek itu penuh, saya sudah menyetorkan isinya ke tukang cuci langganan saya. Tapi kali ini, ada dua keresek sebesar keranjang baju saya, dan semuanya berisi pakaian kotor. Mungkin lebih dari lima belas kilo, pikirku. Ibu-ibu pencuci pasti sumringah melihat saya membawa dua keresek besar. Rasanya kali ini saya akan coba mencuci baju saya sendiri.


Singkatnya, saya beranjak bangun, dan baju-baju segera saya pilah-pilah: dalaman dan kaos kaki, kaos berwarna gelap, kaos berwarna terang, kemeja-kemeja, jaket, dan celana jeans. Tiga kategori terakhir biasanya akan tetap saya serahkan ke ibu-ibu tukang cuci, sedang sisanya saya akan bereskan sendiri. Hari betul-betul terik, namun tampaknya mencuci tidak seburuk yang saya duga. Merendam-rendam baju dan mengaduknya bersama deterjen ternyata sangat menyegarkan di hawa sepanas ini. Setelah semua direndam dan digosok-gosok, saya bilas dan saya celupkan lagi ke ember berisi air bersih. Tidak lupa mencelupkan satu tutup botol pelembut. Ember cucian itu harus saya diamkan selama beberapa waktu, jadi saya ambil handuk dan mandi. Setelah mandi, semua baju saya peras dan langsung saya jemur. Berdasar pengalaman saya dua bulan di Sumbawa, dengan terik yang seperti ini, baju-baju ini akan kering pada sore hari, mungkin sekitar pukul lima. 


Tantangannya justru baru akan dimulai setelah semua kering.


***


Dan akhirnya, disinilah saya. Duduk di atas karpet kamar, berhadap-hadapan dengan setumpuk cucian kering, dipisahkan selembar sarung yang akan menjadi alas setrikaan. Saya menyetel tuas pengatur panas ke angka lima, menunggu sebentar, dan mulai menggosok kaos pertama saya. Tidak ada meja yang bisa digunakan sebagai alas, jadi saya ambil posisi duduk bersila, dan harus membungkuk untuk menggosok tiap helai cucian. Ini membuat semuanya menjadi dua kali lipat lebih berat buat saya.


Tampaknya, saya tidak mencuci dengan sempurna. Saat menggsok baju, saya melihat hal yang saya jarang perhatikan sebelumnya. Di kemeja saya masih ada titik kuning yang entah darimana. Saya ingat-ingat lagi, ternyata itu kuah opor dari lebaran lalu! Ya, saya ingat sekali! Saya beli kemeja itu beberapa hari sebelum lebaran tahun 2012, dan kuah itu terciprat saat saya menyendok kuah opor. Heran, karena kuah itu berarti tidak hilang meski sudah saya bawa ke tukang cuci berkali-kali.


Yang berikut adalah kemeja kesayangan saya yang hampir saya bawa kemanapun saya jalan. Kemeja kotak-kotak coklat ini sudah pernah ke Bandung, Sumbawa, Singapura, Vietnam, Ambon, hingga ke Sorong. Kemeja ini sudah pernah ke puncak Gunung Merbabu, masuk ke dalam Kawah Ijen, dijemur di atas bukit Pulau Rinca, bahkan menerabas hutan di Papua. Kerahnya mulai memudar, dan kancingnya hilang satu. Umurnya memang sudah lama. Saya beli kemeja ini tahun 2010, saat saya baru masuk kuliah di Jogja, dan tersadar bahwa saya tidak punya banyak kemeja untuk berkuliah. Belakangan saya paham, bahwa di kampus saya, mahasiswa boleh menggunakan kaos.


Nostalgia baju berlanjut, ternyata banyak hal yang saya ingat dari kegiatan setrika ini. Tiap helai yang saya gosok ternyata punya kenangan. Saya ingat bahwa kaos UNKL ini saya beli di Bandung saat saya masih magang. Saya ingat bahwa kaos Giordano saya ini saya beli di Discovery Mall Bali. Ada sweater yang saya beli bersama sahabat kontrakan saya di Centro, dan ada kemeja yang saya rampas dari adik saya saat saya mampir di Malang.


Celana pantai saya kebanyakan berasal dari acara Big Sale di Kuta, saya pernah mendapati orang yang menggunakan celana pantai yang sama saat saya mengisi bensin. Kami saling melihat dan tersenyum bersama, karena sama-sama sadar bahwa tampaknya kami berbelanja di tempat yang sama. Menyetrika kali ini berasa minum Cerebrovit. Saya merasa cerdas. Ternyata saya pandai mengingat juga, ya.


***


Sayangnya, perilaku otak saya sangat misterius. 


Kemampuan mengingat ini tidak berlaku di segala bidang. Dalam pelajaran Biologi misalnya, sepanjang SMA, yang saya ingat baik mungkin hanya kata monokotil dan dikotil. Satu biji, dua biji. Saya ingat amygdala sebagai bagian yang mengatur emosi dalam otak karena film Star Wars. Anda tahu ada 200-an tulang dalam tubuh dan mereka diberi nama? Tulang bernama femur, fibula, tibia saya hapal karena berita cedera sepak bola. Selebihnya? Mbuh. Karena itu selama SMA saya tidak pernah masuk 10 besar.


Seandainya saja saya bisa semudah itu mengingat banyak hal, seperti nama orang misalnya, mungkin saya bakal lebih pandai dan supel dalam bergaul. Saya sukar sekali mengingat-ingat nama orang yang baru kenal. Perlu lebih dari satu-dua semester buat saya mengingat nama teman-teman angkatan saya di kampus. Akibatnya, pada semester awal saya jarang menyapa orang. Tidak banyak orang tahu rahasia saya ini, sampai satu peristiwa terjadi. Saat itu saya sedang duduk-duduk bersantai di selasar kampus. Saya lupa persisnya bagaimana, tapi dalam satu obrolan yang cukup panjang, teman saya Juri tiba-tiba menodong saya.


"Nih, nif! Dia namanya siapa?"


Sambil nunjuk orang bersangkutan. Perempuan berkerudung.


Dia lihat saya. Saya lihat dia. Mampus.


"Juri kampret!!!". Saya teriak dalam hati.


Saya lihat wajahnya, tidak ada nama yang mucul di benak saya. Saya blank. Saya nggak tahu. Saya nggak bisa menjawab. Ada jeda waktu beberapa detik yang membuat banyak orang tersadar bahwa saya nggak ingat nama teman angkatan sendiri. Rasanya super nggak enak.


Belakangan saya tahu namanya Rista. Halo, Rista, kalau kamu baca ini.


Peristiwa seperti ini memang langka, dan menyadarkan saya bahwa saya tidak pandai-pandai banget, ya. Tapi melihat saya bisa menghapal harga beli, tempat beli, dan asal noda di baju seharusnya saya bisa dong mengingat hal sepele seperti nama teman? Otak saya memang misterius. Atau saya harus coba stimulasi ingatan saya dengan cara lain?


Menyetrika memang membantu mengingat-ingat beberapa hal pada pakaian, tapi sayangnya saya nggak diperbolehkan secara hukum untuk melakukan hal yang sama kepada wajah teman-teman saya.

Share