Wednesday, February 18, 2015

Pulau Rinca dan Kanawa



Siang hari bulan Agustus. Cuaca sangat terik saat kami mulai masuk ke sebuah teluk yang dirimbuni bakau. Pulau Rintja, atau Rinca, adalah destinasi kedua kami di gugusan kepulauan Komodo.

Kami agak bingung saat memutuskan akan melihat komodo dimana kemarin. Pulau Komodo atau Rinca? Namun setelah berpikir masak-masak, kami memutuskan pergi ke Rinca saja. Kabarnya hewan endemik ini lebih banyak ada di pulau ini. Namun kabarnya, di Pulau Komodo, kita bisa bertemu komodo yang berukuran lebih besar. Tapi toh kami belum pernah kemana-mana, Komodo maupun Rinca, jadi ya sudah, kami ambil Pulau Rinca saja, lagipula, jaraknya lebih dekat dengan Labuan Bajo, dan kami harus menghemat waktu.




Kami merapat untuk kedua kalinya tidak lama berselang, kali ini kami menginjak dek kayu yang terlihat kuat ditempa cuaca saat turun dari kapal. Beberapa meter di depan kami ada gerbang, dan tidak lama, kami langsung berjalan masuk.

Pulau ini kering sekali, pikirku. Selepas hutan bakau, kami menemui tanah-tanah yang retak oleh panas matahari. Rasanya kalau hujan area ini akan menjadi kubangan lumpur, tapi saat itu tidak ada jejak air sama sekali. Pandangan kami langsung terpaku pada rumah-rumah panggung yang berdiri di ujuang jalan setapak. Rasa-rasanya itu pos pertama, dimana kami harus mendaftar sebelum berkeliling.


Untuk berkeliling pulau, kami dengar kami harus menyewa ranger. Saat itu kukira maksudnya adalah mobil khusus, namun ternyata maksud dari ranger adalah seorang ahli. Mungkin pawang komodo, atau semacamnya. Setelah mendaftar, seorang ranger datang dan menjelaskan banyak hal kepada kami. Dia membawa tongkat yang ujungnya bercabang, sebagai senjata.

Trek yang bisa dipilih beragam, tapi pada umumnya ada 3 jenis: trek panjang, ringan, dan sedang. Berhubung waktu kami tidak banyak, kami memilih trek yang ringan dan singkat saja, yang nantinya berakhir di bukit. Untuk yang terjauh, bisa memakan waktu sampai 6 jam.

Omong-omong soal komodo, aku lupa bahwa mereka adalah aktor utama di sini. Aku membayangkan akan berada di tengah habitat binatang buas, sehingga awal-awal perjalanan aku memastikan alang-alang dan rerumputan di pinggir jalan setapak tidak menyembunyikan kadal besar itu. Tapi ternyata, komodo-komodo ini tidak seganas yang kubayangkan. Mungkin saat itu hari sedang terik dan semua reptil sedang berteduh, aku tidak tahu. Namun saat melintasi deretan rumah panggung, kami melihat banyak reptil besar ini ada di bawahnya. Oh, mereka bahkan dilempari sekeranjang kulit kepiting oleh salah seorang ranger. Mungkin ini yang membuat mereka manja.

" Sebenarnya itu tidak boleh."

Ranger kami memberi tahu.

" Itu bisa bikin mereka keenakan. Baru-baru ini ada satu ekor masuk ke dapur kami."

Dia menambahkan lagi.

"Meski terlihat jinak, kita mesti tetap hati-hati. Liurnya penuh kuman, yang bisa bikin kita mati dalam seminggu kalau tergigit. Lihat saja buktinya di sana." Dia menunjuk kumpulan tengkorak hewan yang terpancang di batang kayu untuk mengingatkan kami. 

  

Kami melanjutkan jalan dan sampai di sarang komodo. Kami lihat banyak cerukan dan lubang di tanah. Belum lama kami memperhatikan, pak Ranger sudah menambahkan penjelasannya. Ini adalah tempat bersarang dan bertelurnya komodo. Sekali lagi kami diingatkan untuk mengecek sekitar. Benarkah yang mau kami duduki itu batang pohon? Ataukah ia seekor reptil yang sedang bersantai? Tentu akan merepotkan kalau salah satu dari kami teledor dan diserang.


"Saya pernah menolong turis asing yang pingsan saat trekking." ujarnya. "Bayangkan, saya harus repot-repot menggotong dia dari tengah hutan untuk dapat pertolongan pertama!"

Baik, pak, kami akan berhati-hati. Saya tidak akan meremehkan komodo, meski mereka terlihat lebih malas daripada mahasiswa pulang kampung. Apalagi kalau harus menggotong seorang kawan sampai kapal.

***

Perjalanan kami lanjutkan lagi, jalan terasa mulai menanjak. Kami menenggak air mineral dan duduk sejenak sebelum sampai puncak.

"Kalian bakal suka ini." 

Pak ranger berkata demikian menjelang puncak bukit, dan benar saja, kami dapat pemandangan yang kami dambakan. Ini yang aku lihat dalam 360 derajat.





Waktu kami disini banyak habis di acara berfoto dan duduk-duduk. Panas matahari sedang mencapai puncaknya, tapi rasanya aku tidak peduli. Beruntunglah aku berangkat kemari.

***
Hari sudah agak sore saat kami kembali ke kapal untuk menuju Pulau Kanawa, destinasi terakhir kami. Pulau ini, atau mungkin sebagian besarnya, tampaknya sudah menjadi milik seseorang. Ada banyak cottage yang disewakan di tepian pantai, dimana kebanyakan penyewanya adalah turis asing. Kano-kano terserak terkena buih ombak di pinggir pantai, dan ada satu bangunan yang rasanya adalah tempat makan. Tidak banyak yang kami lihat, karena waktunya terbatas. 


Air di bawah dermaga sangat jernih, dan lagi-lagi aku melihat penyu melintas. Aku tidak mencoba berenang di dalamnya, hanya berkeliling pulau sebentar, lalu kembali ke kapal. Kami harus kembali pulang sebelum malam, karena angin akan turun dan lautan akan segera menjadi gelap. Namun rasanya cukuplah perjalanan kali ini ditutup dengan sunset.

Seandainya saja kami bisa lebih lama diam disini.

Tuesday, February 17, 2015

Siang Hari di Pantai Pink, Pulau Komodo





"Nih. Asik banget gak sih?"

Ya, rasanya tempat yang diperlihatkannya itu memang asik banget. Di layar handphonenya, dia menunjukkan sebuah foto. Foto yang asik banget itu diambil di puncak sebuah bukit. Foto itu menangkap panorama pantai yang luar biasa. Lekukan bukit-bukit kuning yang melengkung membingkai pantai, dengan langit dan laut yang sama-sama biru. Di kejauhan, pulau-pulau yang lekuknya tidak kalah seksi seolah mengapung di atas laut. Perpaduan warnanya luar biasa. Aku tidak memperhatikan siapa orang yang mengambil gambar tersebut, sampai Tiki berseru girang.

"Itu Nicholas nif!"

Pantas saja tempat ini dilabeli asik banget olehnya. Pesona Rangga pada gadis-gadis sama dengan kadar feromon Cinta pada kaum adam. Kalau aku punya rasa terhadap Dian Sastro, perempuan tentu memuja Nicholas Saputra sedalam-dalamnya. Ini adalah fakta.

Tapi lebih jauh dari itu, tempat foto-foto itu diambil luar biasa. Foto itu kugeser-geser terus ke bawah, dan diam-diam tumbuh keinginan untuk datang kesana. Kepulauan Komodo.

***



Tidak sampai sebulan setelahnya, aku melompati tepi dermaga, masuk ke dalam sebuah kapal nelayan, untuk memulai perjalanan ke tempat yang sebulan lalu kami intip lewat Instagram. Saat itu, kami ditemani berlima ditemani oleh seorang kapten dan dua orang awak kapal. Bapak kapten tentunya yang paling tua dan berkumis. Mereka ramah sekali, sayangnya saya lupa nama mereka. Bapak Kapten tampak bersiap membuka pembicaraan begitu kami selesai mengambil posisi.

"Kira-kira empat jam perjalanan. Pokoknya dinikmati saja. Ini ada teh dan kopi, silahkan ambil sendiri saja."

Udara masih agak dingin, matahari masih bersiap memanjat bukit. Bukit-bukit yang kemarin kami lihat penuh lampu rasanya masih belum terbangun. Kami ambil cangkir dan menyeduh teh masing-masing, sambil menggerogoti biskuit sari gandum yang kami bawa dari Labuan Bajo. Angin laut menerpa, sambil kami mengobrol kecil dengan si kapten. Tak berapa lama, matahari muncul juga membawa rasa hangat.

Melihat matahari terbit tidak pernah senikmat ini.

***

Sinar matahari yang meninggi mulai menyilaukan mata. Aku terbangun dan memandang sekeliling. Rasa-rasanya, tidak lama lagi kami akan sampai Pantai Pink di Pulau Komodo. Waktu menunjukkan pukul sembilan saat kami mulai melihat gugusan pulau mengepung kapal kami. Pulau-pulau ini berlekuk-lekuk, dan warnanya kuning kehijauan, kontras dengan laut dan langitnya. 



Benar saja, Pak Kapten menunjuk sebuah garis putih tipis di kejauhan, menandakan kami akan menepi di sana sebentar lagi. Semakin dekat kami ke pantai, air yang kami apungi makin jernih. Ada penyu berwarna putih melintas di bawah kami! Ini luar biasa. Aku belum pernah melihat penyu di luar penangkaran sebelumnya. Dan ternyata satwa langka yang bebas berkeliaran itu ada.

"Sekarang sudah sampai."

Kami masih berjarak sekitar beberapa belas meter dari tepi pantai.

"Kapal tidak bisa sampai pinggir, banyak terumbu karang di sekitar pantai. Akan rusak kalau kita menepi. Hati-hati kalau berenang, jangan menginjak karang, dan jangan berenang terlalu tengah."

Sesungguhnya aku tidak menyimak. Aku ternganga menatap lautan kaca di bawah kapal kami. Seolah kami sedang berlayar di atas kaca patri, dengan ikan-ikan dan terumbu karang yang mewarnai kaca itu. Ikan ikan bergerak-gerak dalam tempo yang hampir sama. Mereka bergerombol dan bergoyang kanan kiri, seakan sedang menunggangi arus.

"Waktu kita lumayan lama, jam 11 silahkan kembali kesini. "

Aku orang pertama yang melepas baju dan melompat. Byur! Aku tidak pernah merasa begitu bersyukur bisa berenang. Baru aku sadar, 2/3 Bumi adalah air. Pikirku secara dangkal, bisa berenang berarti membuka kemungkinan kita untuk menjelajah sebagian besar planet ini. Ini adalah alasan yang baik untuk mulai belajar berenang dan menabung untuk mendapat diving license.












Dari balik kacamata renang, aku melihat warna-warninya dunia bawah laut. Terumbu karang bergoyang-goyang diterpa arus laut yang santai. Bentuknya beragam. Ada yang terlihat lembut bergoyang-goyang seperti beludru, ada yang runcing, dan ada yang kokoh berongga, tempat bersembunyi ikan-ikan kecil dan sejenis kepiting. 

Ikannya sendiri sangat banyak. Berenang disini seperti tercebur dalam es campur. Bedanya kolang-kaling, nangka, dan cincaunya adalah ikan hidup. Seakan seseorang baru saja menumpahkan sejuta ikan ke perairan tempat kami berenang. Ikan-ikan warna-warni ini jinak-jinak, dan kita bisa berenang santai diantara mereka. Sinto, yang fobia ikan, tampaknya tidak panik saat berada diantara mereka. Itu hal bagus, karena rasanya kami tidak akan sempat mengurusi kawan yang pingsan di tempat seindah ini.




Kami berenang berkeliling di sekitar kapal, dan akhirnya menepi di pantai. Dengan warna pasir merah muda, jelaslah bahwa pantai ini pantai impian. Pantai milik Leonardo DiCaprio dalam film "The Beach" pun menurutku kalah cantik. Terlebih disini tidak ada hiu pemakan manusia, sepanjang pengetahuanku. Meski tentu aku awas bahwa komodo bisa berenang antar pulau - hal lain yang perlu diwaspadai.

Sayangnya, saat aku berjalan mendekati batas pasir dan tanah dimana pohon mulai tumbuh, aku menemukan beberapa sampah plastik berserak. Sampah-sampah itu terkumpul di sebuah cerukan. Aku mengambil salah satu botol, dan memasukkan sebagian pasir pink ke dalamnya untuk kubawa pulang. Rasanya agak bersalah tidak membantu membersihkan sampah disana saat itu.

Matahari sudah mulai tinggi. Lelah berenang dan terbakar terik, kami kembali ke kapal. Alangkah senangnya perut ini melihat sudah ada panci dan piring tertata rapi di meja kecil kapal.

"Nasinya sudah tanak, mari makan bersama"

Aku agak terkejut, mengingat rasanya Pak Kapten dan awaknya tidak membawa alat masak. Tiba-tiba aku ingat, ada pisang goreng hangat yang kami makan saat sedang berada di tengah perairan selepas subuh tadi.Oke, air panas bisa muncul dari termos. Tapi pisang goreng renyah? Muncul darimana semua itu? Agak heran, aku lempar satu pertanyaan padanya sambil memeras celana pantaiku.

"Ini kapan masaknya pak?"

"Hahahaha. Itu rahasia pelaut!"

Sambil mengunyah pisang goreng yang entah darimana, dia melanjutkan.
"Biar ombak setinggi tebing, nasi hangat harus tersedia di piring!"

Tiba-tiba aku ingat kapal bernama Baratie.


Jurnal perjalanan Komodo, Agustus 2013.

Wednesday, February 11, 2015

Dua Malam di Labuan Bajo


Merapat ke pelabuhan


Matahari sudah nyaris menyentuh air saat feri ini menepi. Sudah delapan jam lebih kami terhuyung-huyung di atas laut. Ini pertama kalinya aku menginjak tanah Flores. Rasanya agak berdebar-debar, tapi melegakan juga akhirnya menginjak tanah.

Aku tidak punya ekspektasi tentang tanah ini sebelumnya, namun begitu keluar dari pelabuhan, kami berjalan sekitar beberapa ratus meter ke menyusuri jalan. Hari mulai gelap, jadi kami langsung mencari penginapan dan penyewaan kapal untuk esok pagi. Tak lama berjalan, kami singgah di sebuah kios kaki lima untuk mencoba-coba kacamata, dimana tiba-tiba Tiki mengambil jarak dan tertawa.

"Kenapa, Tik?"

"Nggak, tadi, mbak-mbak yang lewat ngecek kamu dari kepala sampai kaki nif. Hahaha."

Jadi menurut pengamatan singkatnya, aku tipe orang yang bentuknya 'dicari' di wilayah ini. Dia bilang, baru saja ada dua wanita yang memperhatikanku saat sedang mencoba-coba kacamata. Katanya tidak hanya sekali. Kalimat itu tentu dibumbu-bumbui olehnya, tapi aku tidak berani meremehkan insting wanita. Antara tersanjung dan malu, aku cuek saja dan lanjut memilih kacamata.

***

Perjalanan berlanjut dengan mencari penginapan. Dari kata seorang teman kami, ada sebuah penginapan kecil bernama "Nelayan", yang menyediakan kamar seadanya dengan harga 20.000 rupiah semalam. Kami menemukan penginapan itu, dan karena tidak menemukan tanda pintu masuk di depan, kami tinggalkan saja. Di sisi lain, bangunan itu sekilas tidak terlihat cukup baik. Belakangan kami diberi tahu, bahwa masuknya memang harus lewat belakang.

Kami memutuskan untuk ke daerah dekat pelabuhan nelayan untuk mencari kapal untuk esok pagi, terlebih hari mulai gelap. Akhirnya, aku dan Bana pergi mencari penginapan, sementara Fadil, Tiki, dan Sinto mencoba menawar harga sewa kapal di sebuah agen perjalanan. Aku dan Bana mendapat penginapan bernama "Pelangi", yang ternyata juga menyediakan tiket bus dari Labuan Bajo ke Lombok. Per orang harus membayar 50.000 rupiah per malam. Kami mengiyakan, mengambil dua kamar - untuk pria dan wanita, dan langsung saja kami jemput tiga orang lain yang ada di agen perjalanan. Semua tepat sebelum hujan deras.

Seperti apa penginapan 50.000 semalam? Tidak direkomendasikan, kecuali anda berhemat seperti kami.

Dari luar, bangunan terlihat bagus dan baru, tapi untuk harga 50.000, kamar yang kita dapat ada di bagian belakang bangunan, yang kontras dengan bagunan depannya. Bangunan ini berbeda massa dengan yang depan, dan tampak kusam dan tua. Kamarnya ada di lantai dua, dan bentuk susunan kamarnya persis seperti rumah kos; satu lorong, dengan kamar di kanan-kiri. Hanya saja antar kamarnya cuma disekat triplek. Dengkur seorang di kamar sebelah pasti anda dengar jelas dari kasur tempat anda berbaring.

Tapi kami tidak peduli, kami harus mandi dan beristirahat. Tapi hambatan baru muncul.

Kamar mandi tersedia di luar, di lantai bawah. Ada beberapa kamar mandi, mungkin 5 atau 6, yang semuanya diterangi lampu remang-remang. Pintunya dari seng berkarat, tidak ada kuncinya, dan bopeng-bopeng di bagian bawahnya. Bahkan tidak ada handel pintunya. Di kamar mandi ini kita diharuskan untuk selalu bersuara-untuk memberi tahu orang yang mau nyelonong masuk bahwa ada orang di dalam. Kami harus berdehem sepanjang waktu saat memakainya, sementara satu kaki harus mengangkang menahan pintu saat akan menciduk air di bak.

Ini cukup parah, namun hambatan tidak berhenti di situ. 

Sebelum tidur aku mengalasi kasur dengan sleeping bag. Dua teman sekamarku tidak. Mereka bentol-bentol digigit kutu semalaman, Fadil bahkan sempat mengambek tidak mau ikut ke Komodo karena sebal dan kecewa, meski akhirnya bisa dibujuk juga. Biar kutegaskan: di perjalanan kemanapun yang lebih dari 3 hari, selalu bawa sleeping bag. Benda ini istimewa!

Padahal aku ingat betul, sprei sudah kuminta untuk diganti sebelum kami masuk.

Saat itu, memang kondisi penginapan, terutama yang bagian belakang, sedang dalam masa konstruksi. Porak poranda. Ada bekas semen tercecer, dan kayu bekisting terserak begitu saja di sebelah kamar mandi. Harga 50.000 memang tidak membuatku banyak berharap, namun andai fasilitas yang kami dapat lebih baik dari yang kami temui saat itu, tentu menyenangkan.

***

Kami menyempatkan diri berkeliling kota ini dua kali. Di malam hari di hari kami mendarat, dan di malam terakhir sebelum pulang. Kami kembali dari destinasti terakhir; Pulau Kanawa menjelang magrib, jadi tidak banyak yang waktu yang tersisa setelah kami mandi untuk berkeliling kota.

Labuan Bajo, jika kita berjalan agak jauh menjauhi pelabuhan, terlihat seperti Seminyak. Di ujung bukit, nyala lampu hotel dan rumah-rumah seperti seribu kunang-kunang. Di pinggiran jalannya, kami banyak mendapati kafe dan resto menghadap laut, aku bahkan sempat membeli sorbet dan gelato pinggir jalan.



Pemilik modal disini, belakangan kami tahu, kebanyakan warga asing. Kapal-kapal wisata yang mengambang di sisi pelabuhan; kapal yang cantik, seperti kapal-kapal bajak laut dengan layar dan kabin yang bagus, biasanya dimiliki oleh kaum ekspatriat. Perancis, Belanda, dan semacamnya. Hotel-hotel yang berdiri juga dikabarkan dimodali oleh saudara kita dari negeri seberang. Mungkin tidak semua, tapi begitulah informasi yang beredar. Yang jelas dimiliki warga lokal mungkin kebanyakan berupa kapal nelayan, warung-warung, restoran, dan artshop.

Artshop, begitu toko suvenir disebut, menyela barisan warung makan yang berjejer rapi. Barang yang dijual pun bermacam-macam, mulai dari topi, topi lebar dari rajutan, kaos oblong, kaos barong, gantungan kunci, hingga gelang-gelang dan pernak-pernik serta aksesoris lainnya. Yang terutama wajib dicari di sini, menurutku adalah gelang karet bertuliskan "Komodo Island" warna-warni. Sukar sekali mendapatkannya, hingga akhirnya ada satu toko yang menjualnya dengan harga 25.000 sebuah. Mahal memang, tapi aku tidak punya pilihan lain karena tampaknya stoknya sedang habis dimana-mana, dan saat itu barang hanya tersisa 4 buah. Nilai tawar kami rendah, dan tampaknya si pedagang tidak tertarik bernegosiasi. Akhirnya aku ambil yang berwarna merah.

Hal lain yang jelas disupiri oleh warga lokal adalah angkot. Tampaknya ada lebih banyak kendaraan umum di Labuan Bajo daripada di Bali. Selain taksi, kita juga bisa menemukan angkot. Hanya saja, kami tidak sempat mencoba angkot di sini karena tujuan kami hanya sekitar pelabuhan. Lagipula, rasanya suasana dan tarif angkot dimana-mana hampir mirip, meski hampir pasti musiknya disetel keras-keras, khas penduduk Indonesia bagian Timur.

Ada satu restoran bernama Treetop yang menarik, bangunan itu di-finish kayu, dengan atap seperti lumbung padi di Lombok. Kabarnya, dari lantai dua, kita bisa mendapat ruang makan yang langsung menghadap Barat, melihat laut dan matahari terbenam. Kami salah momen saat itu, sehingga tidak bisa mampir dan mencari warung ikan bakar. 

Fadil bilang "pokoknya aku mau ikan bakar!", sehingga kami tidak punya pilihan lain. Dia sudah dikutui selama semalaman penuh, menolak permintaannya hanya berpotensi menambah konflik, aku takut dia mengambek. Jadi kami mencari penjual ikan bakar, dan menemukan satu jalan penuh warung ikan bakar. Kami duduk sembarang di salah satu meja, dan memesan ikan bakar dengan cepat, karena kami harus segera kembali ke penginapan untuk istirahat. Besok pagi-pagi sekali, kami harus ke pelabuhan mengejar bus kami ke Lombok.

Labuan Bajo adalah titik terjauh perjalanan kami, yang berarti bus besok adalah bus kami untuk kembali ke rumah. Setelah dua bulan lebih.Tidak sabar rasanya segera pagi, bergegas kembali ke rumah.

 Fadil menambahkan,

"Lebih baik aku tidur di bangku kapal dibanding kembali ke kasur penginapan!"

Mana bisa aku membantah?

Monday, February 9, 2015

Di Atas Kapal


Suatu siang di perairan gugusan Kepulauan Komodo


"Giliranmu, nif."

Aku mengambil kartu dari tangannya, dan meletakkan kartu ber-angka dan warna yang sama ke meja.Kartu di tanganku makin tipis; tanda aku akan segera menyelesaikan permainan ini segera. Game ini mudah, pikirku. 

Dia tidak berkata apapun, tapi seringainya menunjukkan kecurigaan. Mungkin ini ketiga kalinya berturut-turut aku mengambil kartu yang tepat. Sejak pertama kali permainan ini digelar di meja ini, aku belum pernah kalah. Kali ini giliran temanku yang lain mengambil kartu dari tanganku. Entah sudah berapa kali kami bermain.

Gim ini namanya namanya main setan. Mudah saja, di awal permainan, kita harus menyisihkan satu kartu. Sisa kartu dibagi sama rata, dan kita harus membuang kartu yang berpasang-pasang; memiliki angka dan warna yang sama di sepanjang permainan. Di akhir permainan, orang membawa kartu yang tidak punya pasangan; yang pasangannya adalah kartu yang kita sisihkan di awal tadi, adalah orang yang kalah. Dia berkewajiban mengocok kartu untuk pertandingan berikutnya.

Tidak berapa lama, kartu di tanganku habis. Permainan ke-sekian baru saja berakhir. Aku, masih belum kalah, meski tidak selalu menang. Di atas kapal ini, aku punya cara tertentu menghindari kalah main kartu.

***

Omong-omong soal kapal, banyak sekali hal yang bisa diceritakan. Kapal laut, adalah ruang bertemunya semua pengembara. Orang yang merasa penting, tidak punya banyak waktu dan sibuk dengan hal-hal yang harus diurus, tentu akan memilih moda yang lebih cepat. Jadi di sinilah kami semua berkumpul, para pengembara yang tidak sibuk, tidak penting, punya seluruh waktu di dunia, tapi tidak punya uang.

Meski terkesan melarat dan bau karat, geladak kapal tetap sama dengan kabin pesawat, kita tetap bisa bertemu orang yang asalnya bermacam-macam. Dari Sumbawa ke Labuan Bajo, kami bertemu seorang Belanda yang sinar matanya sepi. Kebetulan dia bertanya tentang peta, seorang dari kami membantunya menjelaskan pulau-pulau dan posisinya sekarang. Tak lama, aku kaget mendengar dia berkeliling dunia; dari Eropa hingga kapal ini, dengan sepedanya. Dua tahun dia tidak bertemu keluarganya, belum menikah, dan itu cukup menerangkan sinar matanya yang seperti rumah kosong.

Di jalur sebaliknya, dari Labuan Bajo ke Sumbawa, lain lagi orang yang kami temui. Kali ini seorang Jerman, namanya Karim. Berbeda dengan orang sebelumnya, dia seorang pemain selancar. Orangnya periang, ia bersama kami dari Labuan Bajo. Dia duduk di dekat kami di kapal, dan kami bercakap-cakap sedikit. Semua percakapan menjadi cair saat dia berkata dari kota Dortmund dan terlahir sebagai fans BVB. Sepak bola memang bahasa universal.

Orang ini cukup menyenangkan, dan dia sedikit membandingkan Indonesia dengan negaranya. Dia berkata bahwa Indonesia itu indah, namun tidak tertata. Jerman itu rapih, tapi kaku dan tidak punya alam seindah Indonesia, dia menutup perbandingan itu dengan satu hal yang agak lucu: dia agak heran karena warung-warung Indonesia menyediakan wifi gratis dimana-mana, sementara untuk segelas air, kita harus membayar.

Lucu juga mendengar seorang asing bisa bicara seperti itu. Pembicaraan kami saat itu campur aduk antara sepakbola, kondisi negara masing-masing, hingga sekedar mengomentari musik dangdut di kapal yang berisik luar biasa. Tak berapa lama, dia pergi menyewa kasur untuk tidur.

Lain lagi dengan orang lokal. Agak aneh mendapati bahwa kami lebih sering berbicara dengan orang asing dibanding orang lokal di kapal ini. Mungkin karena kebanyakan orang lokal disini bepergian dengan kapal sebagai rutinitas, mereka tentu sudah lebih terbiasa, terutama di wilayah Timur ini, dimana kapal sering digunakan seperti halnya taksi atau bus di kota Jakarta. Atas dasar ini, ada perbedaan nasib, yang membuat kami menjadi orang 'asing' bersama dengan orang asing yang sebenarnya, yang memang sama-sama bertujuan untuk jalan-jalan.

Tapi jangan khawatir, orang lokal juga baik. Pedagang jajanan dan kopi di kapal lumayan ramah, mereka juga murah senyum. Setidaknya ni bisa menjadi semacam penawar rasa pahit dari harga segelas mi instan yang bisa sampai 15.000-20.000 Rupiah seporsinya.

Yang terburuk dari setiap kapal feri? Banyak kesulitan yang akan kita hadapi di kapal feri, antara lain makanannya yang terbatas, hiburan musiknya yang tidak terduga, sampai tempat duduk yang harus berebut. Tapi hampir pasti anda mengeluh tentang wc nya. 

Air bersih di tengah laut adalah barang langka, itu yang menyebabkan harga mi instan dan kopi berlipat. Ada air bersih pun, warnanya masih agak keruh dan berasa sedikit asin. Tapi di wc kapal feri, kelangkaan itu diperparah dengan keadaan toilet yang kotor dan jorok. Aku jamin buang air besar di kapal feri tidak akan nyaman. Kapal yang secara konstan bergoyang, ruang yang jorok, dan kekhawatiran akan digedornya pintu toilet oleh orang lain berpotensi membuat ritual anda tidak khusyuk.

Namun tidak semua kapal jelek. 

Ada satu kapal yang kami tumpangi di selat Lombok, kalau tidak salah namanya Putri Yasmin, yang sangat bagus dan bersih. Kapal itu punya ruang lesehan dengan karpet yang masih baru dan tebal, lengkap dengan AC. Jarang kami dapat tempat dimana kami bisa berleyeh-leyeh tidur, berselonjor di angkutan umum, terutama kapal. Sebutir Antimo dan anda bisa tidur lelap dengan kaki lurus, itu sebuah kemewahan besar di angkutan umum manapun.

Lain waktu di lain kapal, kami mendapat kursi berjejer di depan sebuah tv. Setelah sejam berjalan, si televisi mulai memutar film-film secara acak. Film pertama Apocalypto, ada perang antar suku-suku berbahasa asing, dilanjutkan dengan sebuah film Indonesia dimana Herjunot Ali dan Laudya Cyintia Bella saling tertawa renyah sambil memeluk dinding yang sama, dari sisi yang berbeda. Film ketiga film horor Indonesia yang agak jorok, tidak jelas lucu atau seram. Kami tidak memegang kendali atas televisi itu, dan kami pasrah saja selama berlayar dengan pilihan yang ada.

***

Tapi saat permainan kartu ini berlangsung, kami sedang beruntung. 

Di kapal ini, kami mendapat tempat yang teduh di bagian depan kapal. Kami menempati sebuah meja bulat yang cukup luas untuk berlima, dengan jumlah kursi yang sama. Cuaca sedang baik, angin tidak bertiup kencang, udara tentu lebih segar daripada di kabin yang penuh sesak, meski ada yang merokok. Kami mendapat pemandangan bagus 180 derajat ke kanan dan kiri kami. Perjalanan selama delapan jam di atas laut, idealnya, tentu mengharuskan kita memiliki tempat yang aman dan nyaman untuk duduk dan bersantai, dan di titik kami duduk saat itu mungkin kami mendapatkan semuanya. Bersandar di tempat ini dengan kacamata hitam sambil membaca buku tentu menyenangkan.



"Main lagi nggak?"

Aku menepuk-nepukkan tanganku ke meja, tanda siap menerima kartu.

"Tapi kamu kok belum kalah juga sih nif?"

Aku menuding ke arah mata mereka, semua orang; Fadil, Sinto, Bana, dan Tiki, semua menggunakan kacamata, bening maupun hitam. Tak perlu susah-susah menebak kartu mana yang harus kauambil saat kedua mata semua lawan mainmu memantulkan bayangan kartu yang dipegangnya.

Secara keseluruhan, delapan jam di atas kapal cukup menyenangkan.

Share