Wednesday, January 28, 2015

Tentang Kamar Mandi, Toilet, dan Semacamnya.

"Saya malah agak canggung ya, kalau mandi di tempat kayak gitu."

"Ya, rasanya memang karena tidak terbiasa ya?"

"Selama ini juga biasanya memang di tempat tertutup, kan?"

 "Padahal bagus sekali tempatnya."

Aku masih memandangi gambar yang kami bicarakan barusan. Sebuah kamar mandi. 

Di sisi ruangannya terdapat bathtub dari semen ekspos, isinya penuh kembang. Showernya mungkin ada di sisi lain kamar mandi, namun tidak terlihat di foto ini. Dindingnya dari baru alam berwarna krem, lantainya berwarna persis dengan bathtub-nya. Kamar mandi ini tentu ada di resor berbintang. Atau hotel. Atau mungkin villa di bagian selatan Bali sana, atau mungkin malah di Jogja, aku tidak tahu. Yang terbayang saat pertama kali melihatnya adalah: damai. 

Kamar mandi ini terhubung langsung dengan taman kecil di belakangnya. Taman ini beralas rumput gajah, diapit dengan dinding batu alam berwarna kecoklatan. Pohon kamboja tumbuh rapi diantara tetumbuhan bunga, dan satu-satunya hal yang terserak di kebun adalah bunga putih dan merah. Lantas darimana aku tahu kamar mandi ini berada di resor? Mudah saja : tidak ada dinding maupun pintu diantara ruang dan kebun.

Kamar mandi model begini ini memang membuat otak kita berkhayal-khayal. Apa rasanya ya, kalau kita punya satu di rumah? Kebanyakan orang suka bermanja-manja berada di dalam air. Hangat maupun dingin, berendam selepas kerja seharian sambil mendengarkan musik pasti terasa mendamaikan. Rasa-rasanya semua pikiran dan kotoran terkupas dan larut bersama air. Keluar dari sana, kita sudah harum, segar, dan bersih. Anggaplah terlahir kembali.

Tapi memang yang namanya otak, sedikit-sedikit sudah terbayang lagi hal lain. Khayalan indah tentang kamar mandi impian ini membawa aku pergi ke tempat lain. Ini satu ingatan tentang kamar mandi yang kumasuki di Pelabuhan Tulehu, Seram. 

Saat itu sedang badai. Aku baru turun dari kapal, dan terburu-buru ke kamar mandi untuk buang air kecil. Tapi tampaknya, kamar mandi itu tidak punya septic tank. Apa yang seharusnya masuk septic tank, dibuang langsung ke laut. Saat itu badai, dan apa yang akan terjadi terhadap si kloset saat laut pasang berombak? Well, rasanya aku tidak perlu cerita banyak untuk menggambarkan apa yang keluar dari dalam kloset. Singkat cerita, aku urung pipis.

***

Akhirnya, otak membawaku kembali ke tempat semula dan mengajakku berpikir. Apa itu kamar mandi?

Ruang ini, mungkin bisa dikatakan ruang paling privat di dalam rumah. Umumnya, apa yang sedang terjadi di dalam, tidak boleh ketahuan yang di luar. Anda tidak suka gangguan saat berada di dalamnya? Pernah digedor saat buang air? Tidak ada yang suka momen-momen seperti itu.

Beberapa yang lain mungkin menganggap ini tempat sejenis tempat suci. Bagi kita, orang Indonesia, yang mandi dua kali sehari, mandi adalah kegiatan memulai dan mengakhiri satu hari. Kita membersihkan diri sebelum berkegiatan, dan membersihkan diri sebelum pergi berbaring untuk tidur. Oh iya, wudhu juga sering dilakukan di kamar mandi, apabila anda berada di rumah. Gosok gigi, mencuci baju, juga mungkin dilakukan dalam satu ruang yang sama. Tidak begitu berlebihan lah, saat aku sebut dia ruang penyucian diri.

Banyak hal sama yang diharapkan semua orang terhadap sebuah kamar mandi, misalnya: kenyamanan, ruang privat, tempat bersuci. Namun, semua orang punya preferensinya masing-masing. Ada yang suka kloset duduk, ada yang harus jongkok. Ada yang mengguyur badan dengan gayung, ada yang suka dihujani dengan shower. Ada yang senang berlama-lama mandi, ada pula yang terbiasa cepat-cepat, karena terburu waktu. Dengan semua itu, tidakkah kamar mandi seharusnya berada di kasta yang mungkin sama dengan kamar tidur?

Sebagai mahasiswa, dahulu aku selalu menempatkan kamar mandi sebagai ruang sisa. Taruh dia di ruangan paling nista: pojok ruang, luasan seadanya, dan tak perlulah dia mendapat cahaya matahari. Dia cuma syarat ruang yang harus ada di tiap bangunan kan? Toh orang tidak akan berlama-lama di dalamnya. Buka, setor, siram. Kelar urusan.

Tapi perspektifku tentang kamar mandi sudah berbeda. Rasa-rasanya kamar mandi ini kok menarik sekali ya? Mungkin kalau diusili dengan desain dia bakal jadi ruang yang sarat pengalaman. Kenapa kamar mandi pria dan wanita di mall terpisah? Mungkinkah mereka disatukan? Aku punya gambaran desain sederhana tentang ini. Bayangkan anda sedang buang air, sementara anda diapit oleh dua orang yang berbeda gender di dinding seberang anda.


Merah untuk pria, putih untuk wanita.


Seru kan? Ini mungkin ide yang tidak berguna, tapi setidaknya kalau sejak awal kita mau memperhatikan hal-hal sepele seperti kamar mandi, mungkin tidak akan ada feses muncrat seperti yang terjadi di Tulehu.

Yogyakarta, 27 Januari 2015.

Friday, January 23, 2015

Kampung Sawai, Maluku Tengah

Matahari terbenam di Sawai.
 
Jurnal Sawai, paska presentasi Sayembara Arsitektur Rumah Baileo.
 Agustus 2014.

Aku sebelumnya bilang, bahwa kita bisa menikmati lagu apapun saat berada dalam taksi manapun di Ambon dan Seram. Itu tidak diragukan. Namun di sisi lain, aku harus menggarisbawahi bahwa skill menyetir orang di sini tinggi sekali. Maksudnya, mereka bisa menyetir di tempat yang berbahaya sekali dengan kecepatan tinggi sekali.

Awalnya begini.

Kami berempat beruntung bertemu dengan seorang baik bernama Rico Wailerune (kalau saya tidak salah) saat presentasi sebuah sayembara arsitektur. Niat kami berkunjung ke Sawai banyak terbantu olehnya. Sebagai orang yang sudah lama tinggal di Masohi, ia tahu banyak tentang kota ini. Kami bertanya banyak tentang Sawai, rute jalan, jadwal angkutan, dan biaya penginapan. Ia menjawab dengan semangat, dan membantu kami menyewa sebuah mobil dari Masohi ke Saleman, desa terakhir sebelum kami dapat menyebrang ke Sawai dengan Perahu.

Masohi ada di selatan Seram, sementara Saleman ada di sisi sebaliknya. Untuk mencapai Saleman, kita harus melalui perjalanan darat yang panjang. Kami diceritakan bahwa jalannya akan sempit, mengular, naik turun membelit bukit, berkabut, dan akan ditempuh dalam waktu beberapa jam. Kami bernasib baik karena dibantu dicarikan mobil untuk pergi-pulang dari Masohi-Saleman. Di hari dan jam yang disepakati, kami naik mobil tersebut untuk segera berangkat ke Saleman. Sopirnya bernama Ical Samual, dan meski tidak banyak bicara, dia selalu berusaha tersenyum dan menyapa.

Mobilnya bersih sekali, dan musiknya masih tetap enak. Kami sedikit bertanya-tanya kepada bang Ical tentang Sawai, namun karena suara musik beradu dengan obrolan, pembicaraan itu otomatis terhenti juga. Masalahnya dimulai disini. Begitu masuk hutan, kebalikan dengan apa yang biasanya orang normal lakukan, pedal gas malah diinjak dalam-dalam olehnya. Aku duduk di kursi tengah baris kedua sehingga bisa melihat jarum speedometer ada di angka 80 dan 100 saat itu. Aku yakin pasti terpental keluar dari kaca depan jika mobil berhenti mendadak atau menabrak sesuatu. Namun rasanya bang Ical ini yakin benar dengan kemampuannya mengemudi. Tidak ada rem atau gas yang digebernya dengan ragu-ragu. Aku putuskan saja untuk menitipkan nasib ini padanya. Mobil meroket meliuk-liuk di badan bukit, sampai akhirnya kami bisa melihat laut dan berhenti. 

Inilah Saleman. Harum cengkeh semerbak di dalam desa Saleman, memberitahu kami bahwa daerah ini memang penghasil rempah. Mobil kami berhenti di bibir dermaga, dan kami langsung menyewa perahu. 

Desa Saleman, indah kan?

Perjalanan dengan boat hanya sekitar 15 menit, tapi pemandangannya sangatlah luar biasa, terlebih cuaca sedang bagus di siang hari. Berbeda sekali dengan cuaca di daerah Seram selatan. Di kejauhan, di pinggir pantai, terlihat beberapa bangunan di pinggir pantai dengan dermaga kecil. Ternyata itu yang namanya Ora Beach. Kekaguman kami dengan pemandangan Ora cepat tergantikan dengan munculnya tebing batu besar Hatupia. Tebing yang tinggi besar ini seolah memotong barisan hutan hijau di sepanjang pantai, sayangnya, ada beberapa coretan vandalis yang dibuat dengan cat di bagian tebing yang berdekatan dengan air.

Itu perbuatan orang Indonesia, aku yakin itu.

Belum habis kami menikmati tebing tersebut, kami sudah harus terkesan lagi dengan beberapa massa kotak-kotak yang ada di atas laut. Tidak salah lagi, itu Sawai.

Terlihat bahwa kampung ini cukup ramai. Ada satu-dua kapal yang berlalu lalang membawa penumpang dan beberapa barang. Anak kecil tampak santai bermain sampan. Dan kebetulan sekali ada satu massa bangunan yang sedang dikerjakan di dekat dermaga, jadi setidaknya kami bisa bertanya-tanya tentang arsitekturnya. Kapal segera merapat, dan seorang dengan umur sekitar 40-an datang menyambut kami. Sambil tersenyum dan mengulurkan tangan, dia menyapa.

"Halo, perkenalkan, saya Alex."

Kami sempat mencari informasi tentang Sawai, dan kebetulan ada artikel yang memasang foto bapak ini. Aku pribadi masih ingat, bapak ini adalah Muhammad Ali, pemilik penginapan Lisar Bahari yang fotonya terpasang di laman artikel tersebut. Langsung saja, kami menyalami bapak itu dan saling memperkenalkan diri.

"Ah? Bapak bukannya pak Ali?"

Beliau tertawa kecil.

"Wah. Hahaha. Tahu darimana? Oh? Internet? Hahaha. Saya punya dua nama. Mari"

Kami memanggul tas yang baru saja kami turunkan dan langsung mengikuti bapak ini. Langkahnya cepat juga.

"Ini kamarnya."

Aku pernah mendapati kamar yang begitu buruk dan berkutu di Labuan Bajo dengan harga yang murah. Aku tidak berharap banyak saat berkunjung ke Seram Utara, tempat yang lebih jauh dan sulit dicapai dibandingkan Labuan Bajo, tapi disini kami semua terkesan. 

Kami mendapati satu kamar dengan dua kasur (spring bed besar dan empuk), dimana di atas masing-masing kasur terdapat dua bantal yang besar. Antara dua kasur ada satu meja kecil dengan colokan listrik terpaku di dindingnya. Gantungan baju bersama ada di dinding seberang, sementara jika ingin menjemur pakaian basah, di luar ada jemuran sendiri untuk tiap kamar. Material dinding, atap, dan lantai terbuat dari material alami, sehingga secara visual sangat enak dilihat, apalagi mengingat kami lulus dari jurusan arsitektur. Kamar mandi? Tersedia di kamar ini juga, cukup buka pintu di sebelah gantungan pakaian tadi. Toiletnya toilet duduk, dan ada shower, meski airnya tidak terlalu deras.

Kamar sebagus ini di tempat sejauh ini, tentu ada satu hal yang jadi pertanyaan kami.

"Untuk kamarnya, seorang dua ratus lima puluh ribu. Saya kasih paket lengkap, tempat tidur ada, makan gratis tiga kali sehari, snack sore ada, kelapa muda gratis, alat snorkling saya kasih pinjam, dan ada sampan gratis buat dipakai. Dan saya kasih kamar kalian di dekat kamar bule perempuan ini, sebagai bonus. Siapa tahu berminat. Hahaha."

Bapak ini membaca pikiran kami. Selera humornya juga bagus. Suasana langsung cair. Dan rasanya bodoh sekali kalau kita masih minta menawar dengan fasilitas sebanyak itu. Kami setuju saja, dan sepakat dengan apa yang bapak ini tawarkan.

"Sekarang silahkan istirahat dulu saja, kalau mau berenang juga boleh. Sebentar lagi saya suruh orang bawakan teh. Dan setelah makan malam, biar saya buka paket laut atau hutan." Maksud paket laut atau hutan itu adalah paket tur dengan guide, yang rincinya akan kuceritakan nanti di bawah saja dengan detail.

Untuk perjalanannya, lihat foto-foto di bawah saja.

 Sesaat sebelum menambatkan kapal di dermaga.

Di atas adalah penginapan. Penginapan dihubungkan dengan selasar-selasar yang melayang di atas air. 
Di bawahnya adalah kolam renang kami, dan semua orang. 
Kolam kami bercampur dengan ikan dan segala macamnya, 
sekaligus jalan raya menuju kampung. 
Apik sekali.

Bangunan pertama, berdiri dari tahun 98, kata Pak Ali. 
Saat kami datang sudah tahun ke enam belas.
Kayu-kayu ini tampaknya kuat sekali.

Selasar antar penginapan.
Di ujung beranda kamar, setiap pagi kami tidak punya pilihan lain, selain minum teh sambil menikmati pisang goreng di pinggir selasar.


Di sisi bukit Hatupia

Desa Sawai dari atas, cukup padat untuk kampung nelayan.
Kalau anda sempat, berkelilinglah. Penduduknya ramah-ramah, dan ada penjaja es campur yang enak sekali.
Semangkuk hanya 5000 rupiah.

Detail perjalanan:
Taksi Avanza Masohi-Sawai Rp.500.000 sekali jalan
Kapal Penyebrangan Saleman Sawai Rp 250.000 pulang pergi
Penginapan, makan, dan fasilitas, Lisar Bahari Rp 250.00 semalam
Paket Tur laut, Lisar Bahari, Rp 750.000 per kapal, meliputi:
1. Wisata ke sungai Salawai, melihat proses pembuatan Sagu.
2. Makan siang di Pulau Jodoh
3. Snorkeling di tengah laut
4. Snorkleing lagi di dekat bukit Hatupia, dekat gua kelelawar
5. Kelapa muda, kopi, teh, snack gratis, dan semua dipandu seorang guide.

Paket gunung lebih mahal, namun kalau anda suka berburu foto, terutama satwa, ini direkomendasikan.
Perjalanan meliputi susur hutan, melihat penangkaran hewan, dan melihat satwa. Anda akan dierek naik ke atas rumah pohon yang tingginya puluhan meter dari tanah, dan bisa melihat aneka flora dan fauna melalui lensa anda yang panjang. Berhubung saya hanya bisa mengacung-acungkan Lumia 520 saya kesana-kemari, sementara tak satupun dari kami antusias melihat burung dan anggrek, kami memilih laut.

Wednesday, January 21, 2015

Jengkel, Pulau Sempu, Jawa Timur

Jurnal perjalanan Pulau Sempu, Jawa Timur.
Januari 2015.


Segara Anakan, Samudera Hindia, dan tenda-tenda.



Dengan kedok 'awalan yang positif di tahun yang baru', aku merencanakan perjalanan ke Pulau Sempu di Jawa Timur. Tidak banyak yang tertarik dengan rencana perjalananku. Aku menghubungi beberapa teman untuk bergabung bersama untuk pergi ke Sempu, tapi tanggapan yang kuterima kebanyakan negatif dengan beragam alasan yang berbeda-beda. Namun akhirnya terkumpul 3 orang lain: Bangkit, Fattah, dan Levy, yang nantinya akan bergabung di Malang.

Untuk paham betapa jengkelnya aku, mungkin aku harus mendeskripsikan bapak-bapak ini di awal cerita. 

Kuperkirakan umurnya sekitar 40 an, perawakannya agak tambun dan tidak begitu tinggi. Bentuk badannya, dari leher ke kaki, persis Pinguin, musuh sejati seorang Batman. Dia tidak memakai tuksedo dan topi tinggi. Bedanya, dia memakai kemerja seadanya berwarna biru dongker, dengan dalaman berwarna sama. Tentu kemeja itu tidak dikancingkan, perutnya menyembul begitu saja diantara lembar kemejanya. Mukanya bulat, berkumis, wajahnya licin karena minyak, dan puncak kepalanya ditutup oleh rambut belah tengah yang sudah acak-acakan. Aku tebak dia adalah orang Perhutani, yang harus kami mintai ijin untuk masuk ke Sempu. Mendapati dia dalam keadaan awut-awutan, merokok, dan menyengir - aku langsung muak.

Aku melihat wajahnya dari luar jendela pos Perhutani. Aku hendak istirahat sejenak setelah perjalanan 3 jam lebih dari Malang menuju tempat ini, desa Sendang Biru. Belum sempat duduk, Fattah, yang lebih dulu menghadapi dia untuk mengurus administrasi bilang ada sedikit masalah. Aku segera malas-malasan masuk dan berhadapan dengan bapak itu.

"Jadi bagaimana pak?"

"Jadi maaf mas, kuota untuk hari ini sudah penuh, maksimal hanya 15 tenda di Segara Anakan."

Dia menyesap rokoknya dalam-dalam sebelum melanjutkan. Aku makin muak.

"Mohon maaf, hari ini sudah tidak bisa menyebrang, silakan kembali di lain waktu."

Akumulasi lelah perjalanan kereta malam dan naik motor sepanjang pagi diberi gong yang nikmat: kami dikabari kalau kami tidak bisa menyebrang. Dan aku makin kesal karena orang ini yang menyampaikan. Aku makin muak karena bau badannya amat sengak! Inilah akibatnya kalau kau merokok dan bermalas-malasan sepanjang hari di ruangan panas. Aku kesal setengah mati, namun aku tahan semua dan mencoba berdialog dengan kepala dingin. Aku ceritakan bahwa kami datang dari Jogja, waktu kami terbatas, dan kami belum pernah ke Sempu sama sekali. Tidak lupa kami bilang akan sopan dan tidak menyampah sepanjang perjalanan. Segala macam jilatan itulah. Dan akhirnya dia mulai buka mulut.

" Yaaa.. Karena masnya sudah datang dari jauh, dan sengaja hanya untuk ke tempat ini, kami pertimbangkan lagi. Cuma saat inni guidenya belum ada, dan lksdfsjfajhd sajdhfskajfhakjdfhakajfdhakjh dfjhwfl.."

Aku tidak begitu menyimak ucapannya, hanya saja ujung-ujungnya aku yakin adalah uang. Terang saja, di akhir kalimat, kami diminta menyediakan uang sebesar Rp 250.000 untuk membayar pemandu, tiap sepuluh orang, Rp 130.000 untuk sewa kapal pulang pergi, dan masing-masing diminta menyewa sepatu, sepuluh ribu sepasang. Itupun dengan jam berangkat yang belum pasti. Tapi apa ada pilihan lain? Aku mengiyakan, dan dia menulis namaku sekenanya di selembar kertas HVS. Dia mengesahkan keberadaan kami untuk masuk ke pulau dengan menulis namaku "ANIF" dengan hururf "F" yang terbalik, bersama dengan coretan "1 tenda, 4 org". Belum pernah aku sejengkel ini terhadap satu orang. Tapi masa bodohlah. Sesukamu saja.

Ada beberapa rombongan bernasib sama, dan kami harus menunggu lama di ruangan yang sama dengan bapak itu. Kami bersama terpaksa mendengarkan dia meracau tentang lingkungan cagar alam yang rusak, tentang flora dan fauna, tentang tingkat kesulitan treknya saat hujan, dan sebagainya. Dia juga bercerita tentang bahayanya trekking tanpa pemandu, karena adanya harimau dan macan kumbang di Pulau Sempu, apalagi jika malam tiba.  Pembual, pikirku. "Setidaknya aku tidak akan bertemu dengan orang yang lebih menyebalkan dari kamu!", pekikku dalam hati. Aku putuskan istirahat sampai kapal dan pemandu kami tiba.

Perjalanan kami semua akhirnya dimulai jam 5 lebih. Setelah menyeberang dengan kapal sekitar 10 menit, kami mendarat di Teluk Semut, dan segera berjalan sebelum hari bertambah gelap, bergegas ke Segara Anakan.

Tapi ternyata apa yang kudapati di akhir perjalanan?

Orang-orang yang berangkat bersama kami, ternyata bukan tipe pecinta alam yang biasa kutemui di gunung. Saat memanjat Merbabu, Prau, serta trekking menuju Kawah Ijen, orang-orang berjalan rapi seperti semut. Berbaris kecil-kecil dalam alur tertentu, disiplin, dan selalu menyempatkan saling sapa. Disini? Tidak ada semua itu. Beberapa orang berteriak-teriak dari barisan belakang, terkadang ada ucapan sumpah serapah yang menyelip. Kita bisa mendapati beberapa botol plastik bekas yang masih baru, pertanda itu baru saja ditinggalkan oleh orang yang berjalan di depan kami. Saling sapa? Tidak ada semua itu, mereka cuma bergaul dengan kenalannya saja. Peralatan mereka pun tidak lebih meyakinkan. Ada yang masuk hutan bertelanjang kaki, ada yang membawa bekalnya dengan menenteng sebungkus plastik Indomaret. Cuma setengah dari kami yang membawa senter. 

Di Segara Anakan, kondisinya tidak lebih baik. Ada orang menyalakan musik semalam suntuk. Saat pagi tiba di pinggir pantai, kudapati ribuan puntung rokok dan sobekan bungkus makanan berserakan. Air di pinggir pantai agak berbusa, sementara di beberapa titik ada bekas hangus dari api unggun, lengkap dengan sampah-sampahnya. Ada sudut-sudut yang berbau pesing dan amis. Aku kecewa sekali, karena terlepas dari itu, alamnya sangat indah. Aku sedikit demi sedikit merasa bersalah, dan mulai mengumpulkan sampah sebisanya dari pinggir pantai untuk dibawa pulang. Rasanya kalau kita membawa sampah pulang lebih banyak daripada sampah yang kita bawa masuk, alam akan lekas bersih. Tapi ada satu peristiwa yang sekali lagi mengecewakanku. Pelakunya seorang wanita, muda, rasanya kami sepantaran. Saat itu dia bilang begini.

"Mas, trash bag nya masih ada tempat ndak? Kita nitip ya?". Ucapan itu hampir serentak dengan gerakan dia memasukkan plastik sampahnya ke dalam trash bag ku. Benar, buat apa susah-susah membawa sampah kalau ada yang mau melakukan itu buat kita? Aku cuma diam, dan agak heran. Apa memang ada orang sebodoh ini? Kalau memang ada, Ya Tuhan, jangan biarkan aku bertemu dengan orang yang lebih bodoh dari ini!

Aku membuang pandangan ke arah air, dan melihat ada dua orang berenang dengan sambil mengibar-ngibarkan terpal ke tengah laut. Langit sedang gerimis.Coba tebak apa yang mereka lakukan? 

Mereka membawa terpal itu untuk memayungi kepalanya supaya tidak basah dari air hujan saat mereka berenang.

Rasanya aku berhutang apologi kepada bapak Perhutani.
Ternyata banyak pak, yang lebih menjengkelkan daripada sampeyan.

*Tentu tidak semua orang berlaku demikian, ada juga yang ramah dan baik hati. 
Di perjalanan pulang, ada satu rombongan yang menyewa porter untuk membawa sampah. 
Guidenya juga sangat baik dan bersahabat.

Share