Wednesday, August 20, 2014

Baileo Kita Semua Punya - Sayembara Baileo Dan Guesthouse Kabupaten Maluku Tengah. 2014. IAI.

Aku sering berpikir, dengan cara tertentu, arsitektur adalah tiketku untuk menjelajah. 

Di bawah ini adalah panel sayembara perancangan bangunan balai pertemuan beserta penunjangnya di area rumah dinas Bupati Masohi sekarang. Masohi sendiri terletak di Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Aku sendiri belum pernah mendengar nama Masohi sebelumnya, dan tidak banyak yang kutahu tentang tempat ini, kecuali ia berada di bagian selatan Pulau Seram, sebelah timur Ambon. Dan kali ini, sayembara inilah tiketku menuju ke Pulau Seram.

Baileo adalah nama rumah adat di daerah Maluku Tengah. Baileo dianggap sebagai bangunan yang cukup sakral, dengan fungsi sebagai balai pertemuan terbuka, yang dibuat tanpa dinding masif, dipercaya agar roh leluhur bisa tetap memasuki rumah dengan. Baileo ini ada di tiap-tiap desa. Ada hal menarik tentang konsep desa disini, dimana di Maluku, sebuah 'desa' dianggap sebagai satu 'negeri', dengan sebutan 'raja' sebagai pemimpinnya. Hal inilah yang membuat nama Moluccas, alias negeri banyak raja menjadi wajar.

Untuk sayembara ini, Baileo akan diletakkan di sebuah site yang unik, dengan sumbu jalan yang kuat, lurus langsung menuju pantai. Bangunan utama berupa Baileo berkapasitas 500 orang, yang digunakan untuk balai pertemuan 183 negeri. Jumlah ini didapat dari penghitungan jumlah desa-desa yang ada di wilayah administratif kabupaten Maluku Tengah. Bangunan pendukung, dan guesthouse baru akan dibangun menggantikan bangunan yang lama, dan sebisa mungkin dibuat menyesuaikan dengan rumah dinas Bupati Masohi sebagai eksisting.

Ada langgam dan filosofi lokal yang disebut Siwalima, yang diwujudkan secara fisik dalam 9 kolom memanjang dan 5 kolom membujur. Ada beberapa penjelasan tentang mengapa angka 9 dan 5 dipilih, namun rasanya ini akan terlalu panjang dan melebar untuk dibahas. Selain itu, ada orientasi matahari, materialitas, dan bentuk serta ornamen tertentu yang harus diperhatikan.

Sejarah Ambon yang pernah mengalami kerusuhan membuat tim berpikir, bagaimana bangunan ini bisa menjadi pemicu kesatuan? Konsep Baileo "Kita Semua Punya" diajukan untuk membangkitkan semangat kebersamaan dan kesatuan. Sesungguhnya, pembangunan rumah tradisional di Indonesia sangatlah lekat dengan semangat gotong-royong. Semangat ini diwujudkan dalam desain yang memberi ruang pada tukang-tukang lokal untuk bergerak bersama membangun baileo dengan material lokal: bambu, kayu, dan atap rumbia. Beberapa street furnitur berfungsi sebagai kanvas, dan monumen 183 negeri disediakan mengelilingi bangunan sebagai simbolisasi persatuan dan kesetaraan tiap negeri. 

Alangkah baiknya jika ada perjanjian dari ke 183 negeri untuk bersama menyumbang masing-masing tukang terbaiknya untuk bersama membangun Baileo ini. Penggunaan tukang lokal, material lokal yang rentan cuaca, serta sistem manajemen sosial yang diajukan memang merepotkan dan tidak mudah, namun rasanya dengan bekerja, menyumbang, dan berdiskusi bersama-sama, akan lebih memunculkan rasa memiliki dan persatuan, dibanding sekedar memajang simbol masing-masing desa.

Singkat cerita, eksekusi desain dan ide yang akhirnya diajukan sangatlah sederhana. Proporsi bangunan utama dipertahankan sesuai preseden Baileo tradisional, lalu dibuat panggung untuk memasukkan fungsi penyimpanan benda pusaka dan servis dibawahnya. Tanah di sekeliling bangunan dibuat menjadi ramp hijau dengan tangga, sebagai ruang publik dan penyaring debu. Rasio ruang hijau area lansekap dipertahankan, dan dibiarkan sebagai tempat memelihara rusa, sementara bangunan guesthouse dan area parkir diletakkan di bagian belakang site.

Pada akhirnya, karya ini tidak menjadi juara, hanya saja pengalaman yang didapatkan sangatlah menarik, dan dengan senang hati akan aku ceritakan dalam tulisan berikutnya. Oh, selain itu ada file presentasi dan video yang akan segera ditambahkan nanti.

Kredit untuk semua anggota tim yang hebat:
Reza Arlianda
Gata Guruh Mahardika
Rizki Bhaskara
Gery Dwi Samudra
Muhammad Fadlil Anugrah
Baskoro Haryo Pamungkas
Hanief Pitoyo Wicaksana







Tuesday, August 19, 2014

Saujana Dalam Palka - Sayembara Desain Paviliun Utama dan Stand Nasional Indonesia di Frankfurt Book Fair 2015. 2014. IAI.

Kali ini aku bergabung dengan tukang baca buku sebagai tim dalam satu sayembara: merancang Paviliun Indonesia di Frankfurt Book Fair 2015. Ada Andin, Gata, dan Ribas.

Frankfurt Book Fair (FBF) kabarnya adalah salah satu event terbesar di dunia, yang berkaitan dengan buku dan karya tulis. Setiap tahunnya, ribuan penulis dan penerbit berkumpul jadi satu di bawah satu atap. Singkat kata, Indonesia mendapat kesempatan menjadi Guest of Honor di tahun 2015, dan karena itulah sayembara ini dilakukan. Tema paviliun Indonesia punya judul "17.000 Islands of Imagination", dan akan memuat sekitar 2000 judul buku dalam luasan total sekitar 1000 m2, yang terbagi dalam sebuah paviliun utama dan bagian kecil lagi untuk stand penerbit nasional.

Pertama, tema yang sudah ada "17.000 Islands of Imagination" kami baca sebagai semangat untuk menunjukkan Indonesia sebagai negara yang majemuk, kaya akan budaya, dan penuh ide cemerlang. Tema ini juga seolah ingin menegaskan kembali bahwa Indonesia adalah negara maritim. Di sisi lain, dari pencarian kami tentang sosok penulis-penulis di Indonesia, kami melihat bahwa linimasa perkembangan sastra di Indonesia sangatlah menarik, sehingga kami putuskan untuk mengangkatnya sebagai konsep.

Melalui proses yang lumayan panjang, akhirnya muncul kata-kata saujana (sejauh mata memandang) dan palka (lubang dalam kapal tempat menaruh barang-barang), yang kami rangkai menjadi "Saujana dalam Palka". Kami mengibaratkan paviliun Indonesia sebagai kapal, yang membawa keindahan dan kehebatan Indonesia di dalam palka-nya, meski dengan luasan terbatas. Ruang-ruang dipecah menjadi pulau-pulau kecil, dengan koleksi buku dan suasana (bau, tekstur, serta suara) yang berbeda-beda, sementara sepertiga ruang paviliun utama kami buat menjadi panggung sederhana yang bisa digunakan sebagai tempat berkumpul saat tidak ada pentas. Keterbangunan desain disini menjadi hal penting, karena itu kami memutuskan untuk menggunakan banyak furnitur modular dan kain, untuk kemudahan mobilisasinya. Untuk ini, kami harus berterimakasih kepada Pak Apep, Achmad Tardiyana, atas sharing ceritanya kepada Andin di Urbane tentang bagaimana Paviliun Indonesia di Venice Biennale kemarin terbangun.

Proses desain sangat menyenangkan, meski dilakukan dari tempat yang terpisah-pisah: aku di Denpasar, Andin di Bandung, Gata mudik ke Surabaya, dan Ribas kebetulan sedang balik ke Magelang. 

Mungkin ini manifestasi nyata dari pemikiran "Bhinneka Tunggal Ika".
Berbeda-beda tapi tetap satu tim.
Tercerai-berai tapi tetap ngirim karya.

Sebagai penutup, aku tahu bahwa Andin sudah sering membaca novel, bahkan sekarang sedang memulai karirnya sebagai penulis merangkap arsitek, sementara Gata punya tumpukan buku-buku bagus di kamarnya, sesekali aku lihat dia asyik membaca buku tentang seni, sambil mendengarkan dan sesekali memainkan lagu-lagu indie. Tidak kurang, Ribas adalah orang yang kamarnya ingin kurampok, karena koleksi Tintin dan buku-buku karya Pram-nya yang terlihat sedap. Kami rasanya cukup suka membaca buku, dan tentu saat mengirim panel terselip doa kami untuk menang, dengan harapan akan diundang ke Jerman.

Tapi ternyata, sejauh-jauhnya Denpasar, Surabaya, Bandung, dan Magelang terpisah, 
Jerman masih lebih jauh.






Share