Tuesday, April 22, 2014

Omah Kapak - Sayembara Rumah Urban, Arbbi Design Award 2013

Seorang striker dihitung bukan dari banyaknya dia menendang ke gawang, tapi banyaknya gol yang dia cetak. 

Ini tidak menjadi gol, tapi ini adalah usaha latihan menembak kembali setelah satu tahun bergelut dengan tugas akhir dan tidak mengikuti kompetisi arsitektur apapun dalam rentang waktu tersebut.

Panel ini mulai dibuat persis setelah Rumah Rotowijayan selesai. Ya saya dan teman-teman saya banyak yang mengirim dua karya. Rasanya hal-hal seperti ini patut disesali, karena sedikit banyak pasti memecah konsentrasi. Susah, membidik dua gawang.

Berbeda dengan yang sebelumnya, yang satu ini dikerjakan dengan cepat, satu sketsa, sekali diskusi, hajar. Site ditemukan saat saya iseng mencoba jalan baru dari Pogung ke Jakal, ada lahan kecil, memanjang ke belakang dengan lebar kira-kira 3 meter. Saya coba lihat ke dalam, lahan tadi terhubung dengan ruang yang lebih luas di bagian belakangnya. Rasanya cukup menarik, jadi saya tarik Rizki Bhaskara dan Muhammad Fadlil untuk melihat sitenya, dan jadilah tim kedua.

Karya ini tidak dikerjakan secara paralel dengan karya yang lain, saat kami telah beres dengan tim sebelumnya, barulah kami bergabung menjadi tim ini: tim Omah Kapak. Kenapa Omah Kapak? Karena bentuk sitenya persis kapak. Dangkal.

Dan begitulah, setelah satu diskusi, satu malam berikutnya panel ini jadi. 
Katakanlah, ini adalah anak tiri yang kami lahirkan bersama-sama.
Sebagai usaha mengembalikan ketajaman, rasanya tidak buruk.
Lagipula, kalau nggak nyoba nembak, kapan bikin gol?

Ah, tapi rasanya orang Jawa punya istilah untuk mereka yang sok ngumpul dua karya padahal satu aja belum tentu beres.

Kemaki.

 


 



Sunday, April 20, 2014

Rumah Rotowijayan - Sayembara Rumah Urban, Arbbi Design Award 2013

Rumah itu, menurut saya pribadi, adalah sesuatu yang rumit didesain.
Mendesain rumah itu adalah hal yang penuh tantangan dan misteri.
Mungkin karena sifatnya yang seharusnya sangat pribadi, sehingga tiap orang harusnya punya desain rumah yang berbeda. Terlebih, jika luasan yang ada terbatas dengan kebutuhan yang besar.

Tema sayembara tahun ini adalah rumah urban, dimana kita mencari dan menentukan site dan klien sebebas-bebasnya, seunik mungkin, dengan luasan maksimal 100m2. Dimensi yang diarahkan oleh TOR lomba mendekati 4x25 atau 5x20, yang berarti lahan berbentuk memanjang, seperti gerbong kereta api.

Pada saat yang hampir bersamaan, ada kerabat yang meminta didesainkan sebuah rumah, di daerah Rotowijayan, sebelah Barat Keraton Yogyakarta. Sitenya cukup unik. Gang dimana mobil tidak bisa masuk, serta rumah yang saling menempel satu sama lain, meskipun bentuk site yang akan digunakan tidak memanjang seperti yang diharapkan oleh TOR. Ini saya kira akan menjadi satu kasus yang menarik, sehingga saya memutuskan untuk menggarapnya secara paralel menjadi dua karya: yang satu adalah desain yang (semoga) akan dibangun, serta yang satu lagi akan saya garap bersama-sama menjadi sebuah karya untuk sayembara.

Singkatnya, saya mengajak dua orang teman, Baksoro Haryo Pamungkas, dan Reza Rinanto untuk bergabung dalam tim, karena kebetulan saya punya formulir gratis.

Dalam pengerjaan sayembara ini, kami sepakat untuk menggunakan keluarga kerabat saya menjadi klien untuk dijadikan acuan. Sepasang suami istri, dan dua orang anak yang masih SD. Untuk penggunaan site, kami sepakat untuk menggunakan hanya sebagian dari site untuk digunakan, sehingga didapat luasan 56m2 dengan dimensi 4x14, mendekati dimensi yang dikehendaki dalam TOR. Saya tidak tahu pasti, namun, saya kira ini adalah luasan site terkecil (atau mungkin salah satu yang paling kecil) dari ratusan karya yang masuk. Kasus dan klien yang nyata, tapi dengan luasan site yang kita reka ulang. 

Bisa dibilang, kami sedang mengarang cerita fiksi dari fakta yang ada.

Idenya sederhana, pertama kami membuat daftar kegiatan yang diperlukan dari pengamatan keluarga. Setelah itu kami menentukan luasan ruang yang diperlukan. Dari sana, kami menentukan ruang mana yang bisa dibuat fleksibel, dan ruang mana yang tidak, mengingat luasan ruang (di lantai satu bahkan kami hanya bisa menggunakan 28m2) yang terbatas. Akibatnya, desain yang kami buat mengarah ke bagaimana membuat ruang-ruang dan furnitur yang ada menjadi fleksibel, serta bagaimana memainkan psikologi ruang sehingga ruang terkesan luas.

Prosesnya cukup menyenangkan, kami menggambar, berdiskusi, dan bahkan sempat membuat maket studi karena kurang yakin dengan gambaran skala ruang yang ada di monitor. Kami mendesain dengan detail, sangat detail, bahkan di hari-hari terakhir menjelang deadline, kami bingung akan memasukkan detail furnitur yang mana, karena ruang layout yang terbatas dan bahan yang terlalu banyak.

Pada akhirnya, karya ini gagal masuk nominasi (bahkan saya rasa tidak ada di list 70 besar).
Kami rasa kami belajar banyak tentang ruang sempit, pengalaman bertambah, dan kami akan kembali lagi dengan karya yang lebih baik.

Tapi satu hal yang pasti adalah: 

penilaian desain rumah akan selalu menjadi hal misterius.


 

 




Monday, April 7, 2014

The Bridge - FuturArc Prize 2013

Desember 2012, kalau tidak salah, setelah display studio.

"Dil, habis display ngapain, nih?"

"Nggak tau."

"Anak-anak pada kemana sih?"

"Gatau, kayaknya pada buat FuturArc deh. Rajin-rajin banget, pada langsung kerja lagi aja habis display."

"Oh."

Obrolan itu terpotong hening yang cukup panjang di depan studio, 
Fadil seperti biasa, mulai mengisap rokok, sementara saya, bengong seperti biasa.
Sampai tiba-tiba sesuatu terlintas.

"Dil."

"Ha?"

"Deadlinenya kapan sih, FuturArc?"

"Gatau, kayaknya besok atau lusa deh."

"Oh."

Suasana kembali hening, tapi tidak sepanjang yang pertama.

"Emang kenapa, nif?"

"Jadi gini,

Saya menarik napas,

aku punya ide."

Idenya saat itu adalah, 
bagaimana kalau jembatan penyebrangan dijadikan lebih dari sekedar tempat menyebrang? 

Pendapat kami saat itu, adalah, gedung-gedung kantor yang tinggi di kota-kota besar, tidak terhubung satu sama lain - meski mepet-mepet. Jadi disini, selain untuk menyebrang jalan, jembatan dikonsep ulang untuk menghubungkan gedung-gedung yang individual itu dengan penambahan fungsi seperti kafe, kebun, dan taman untuk duduk-duduk.


Ide tadi saya ceritakan ke Fadil, dan tidak sampai sejam, rasanya kita sudah duduk di depan komputer masing-masing. Langkah berikutnya, mencari orang untuk membuat essay-nya. Dimana tiba-tiba datanglah seorang Hendro Prasetyo.


Sekitar (kira-kira) 24 jam kemudian, panel berikut jadi.


 Panel 1


 Panel 2

Yah, saya agak lupa ide besarnya, mungkin bisa dilihat di poster saja, ya.
Pada akhirnya memang, untuk kaliber FuturArc, kami gagal masuk nominasi.
Tapi daripada didiamkan di komputer selama satu setengah tahun, tampaknya lebih baik di share.

Tulisan ini saya dedikasikan untuk Muhammad Fadlil dan Hendro Prasetyo.
Golongan pemuda yang mau repot habis display...

Share