Di Maluku, ke taksi manapun anda masuk, aku jamin musik-kusik lama mengalun merdu.
Sepanjang perjalanan menyusuri Ambon dan Seram, aku selalu menikmati musik yang dimainkan pak sopir di mobil. Musik lawas seperti Queen, ABBA, Bee Gees sampai artis legendaris lokal seperti Broery bernyanyi menggantikan radio atau musik pop standar, yang biasa dimainkan di taksi kota-kota besar.
Jangan membayangkan taksi disini seperti taksi pada umumnya. Taksi disini bukanlah Limo, atau Vios, atau sedan apapun yang biasa anda naiki. Taksi disini umumnya adalah Avanza, pak sopirnya tidak menggunakan seragam atau tanda pengenal, pun tidak memiliki sistem argo. Tapi kujamin, orang disini baik hati meski bersuara keras dan tegas.
Ini adalah cerita saat aku dan teman-teman mengikuti acara presentasi sebuah sayembara di Masohi, Kabupaten Maluku Tengah. Kami berempat dijemput di dekat bandara setelah menginap sehari di Hotel Transit Maluku, 2 km dari Bandara Pattimura. Kami langsung masuk ke taksi, untuk langsung ke pelabuhan Tulehu, mengejar kapal cepat langsung ke Pulau Seram.
Di pelabuhan Tulehu, semua peserta sayembara dan dewan juri berkumpul untuk sarapan sambil menunggu kapal cepat. Kapal cepat yang datang adalah kapal putih bersih yang memiliki atap yang menyatu dengan badan kapal, sehingga penumpang terlindung sepenuhnya dari hujan, berbeda dengan kapal cepat biasa yang beratap terpal. Kabinnya muat untuk sekitar 12-15 orang, dengan posisi duduk berhadap-hadapan seperti di angkot. Di ujung depan, ada kursi khusus untuk kapten kapal, persis seperti kursi pilot pesawat. Dua mesin Yamaha terpaku di belakangnya, dan disamping pintu masuk belakang terdapat wastafel sederhana. Aku pikir, kendaraan ini luar biasa. Belakangan aku tahu, bahwa kapal itu adalah pesanan mantan bupati Masohi dan pemda setempat, yang khusus datang menjemput kami.
Aku tidak tahu perasaan yang lain, tapi aku sendiri kaget, karena aku jarang dianggap penting.
Kapal ini mampu membawa penumpang sampai dari Pulau Ambon sampai Pulau Seram dengan cepat, dengan resiko terhuyung ombak sepanjang perjalanan, sehingga rasanya tidak disarankan untuk mereka yang sering mabuk, terlebih jika cuaca sedang buruk. Disamping itu harganya jelas lebih mahal. Kami melewati dua pulau dengan cepat, untuk langsung mendarat di Seram dengan selamat, meski cuaca sedang gerimis.
Perjalanan dilanjutkan dengan mobil travel yang cukup besar, sebuah minibus yang muat sekitar 12 orang, lagi lagi terimakasih kepada pemda setempat. Aku duduk di bangku paling belakang, bersama Gery, Rejak, dan Gata. Perjalanan ke Masohi cukup panjang, mungkin sekitar 3 jam jalan berliku dan mengular menyisir sisi selatan Seram. Aku sempat mengecek lewat HERE Maps, namun ternyata bentuk jalannya tidak muncul di peta.
Dengan bentuk jalan yang sama sepanjang perjalanan, dengan pelingkup pohon dan semak yang tinggi sepanjang perjalanan, tidak adanya sinya dan buku bacaan, 3 jam ini berpotensi membosankan. Untungnya di depan kami duduk seorang Yori Antar dan Prof. Watloly. Bagaimanapun, pembicaraan dan cerita-cerita mereka terlalu menarik untuk diabaikan dan ditinggal tidur. Tiga jam ini terasa seperti kuliah umum dengan dosen tamu yang hebat, sampai akhirnya nanti tiba di Masohi.
Kota ini tidak begitu mengejutkan, karena rasanya suasananya lumayan persis dengan beberapa bagian kota Gianyar di Bali, tempatku tinggal selama belasan tahun. Ada terminal persis di sebelah pasar, angkot-angkot, yang menyetel house music keras-keras, berseliweran bersama taksi-taksi Avanza dan motor-motor matic. Di malam hari, sepanjang trotoar ditutupi oleh penjaja buah kelengkeng dan durian, sambil sesekali alur itu terputus karena adanya warung lesehan. Kondisi trotoar disini tidak baik, ada lubang-lubang, dan lengkungan yang membuat air hujan tertampung menjadi becek. Persis sekali dengan daerah Batubulan, Gianyar.
Pembedanya adalah di Masohi tidak ada bau dupa dibakar yang sangat khas Bali. Dan tidak ada genteng tanah liat. Sepanjang perjalanan, sebagian besar rumah ditutup oleh atap seng, dan sesekali rumbia. Ada beberapa yang memasang genteng, namun itu hanya terbatas untuk beberapa bangunan saja, dan itupun bukan genteng tanah liat pada umumnya. Jika dibandingkan dengan Gianyar, kondisi kota ini juga lebih sepi. Satu ruas jalan yang menuju ke arah rumah dinas Bupati sangat lebar dan lengang, di kanan-kiri ada rumah-rumah dengan jarak yang renggang satu sama lain.
Aku sedang sibuk menyerap energi dan atmosfer kota Masohi, tanpa sadar kami sudah tiba di Rumah Dinas Bupati Masohi, selain untuk melihat site sayembara secara langsung, juga untuk menerima sambutan singkat. Tempatnya luas dan masih hijau. Di belakangnya ada bukit yang masih liar. Baileo dan guesthouse yang sudah ada berdiri di depan dan samping site, sementara ruang parkir dan rumah bupati terletak di belakang. Yang menarik, banyak sekali rusa dipelihara dan dibebaskan di sekitar halaman rumah dinas ini.
Aku teringat satu rusa yang kusate saat KKN di Sumbawa Barat.
Pertemuan dan sambutan tidak berlangsung lama, dan kami langsung bertolak untuk makan. Menu yang kuharapkan sebenarnya adalah daging rusa, tapi ternyata kendaraan menuju ke warung sederhana yang dilewati tadi di pinggir jalan. Bambu Kuning adalah warung ikan bakar yang tampaknya terkenal di Masohi. Ada beberapa tamu selain rombongan kami yang berbicara dengan logat Jakarta, lengkap dengan mengalungi DSLR dan menggenggam iPhone. Warung ini sederhana saja, dinding kayu dan bambu, meja kayu, dan udara ruang yang sedikit berasap karena ikan dibakar persis di samping warung.
Untuk soal rasa, luar biasa. Bumbu ikan bakarnya sedap kemerah-merahan, namun sama sekali beda dengan apa yang pernah kucoba di Bali. Nasinya tampaknya nasi gurih, tapi kita juga bisa coba makan ikan dengan papeda, setelah mengalasi piring dengan kuah dari sup ikan. Semua sepakat ini salah satu menu ikan bakar terenak yang pernah dimakan. Lebih beruntung lagi: semua gratis berkat sponsor Ikatan Arsitek Indonesia dan pemda setempat.
Jika anda ingin ke Sawai atau Ora, anda pasti akan lewat dan transit di Masohi dan aku sarankan jangan lewatkan tempat yang satu ini. Perjalanan akan dilanjutkan untuk mengunjungi desa adat Rohua dan Bonara, milik suku Naulu, kalau saya tidak salah.
Tapi akan kuceritakan di tulisan lainnya.
Kalau ada yang ingin tahu biaya perjalanan dan akomodasi Surabaya-Ambon-Masohi, aku beritahu di bawah.
Surabaya-Ambon
Pesawat Lion Air PP = Sekitar Rp 2.000.000/orang
Angkot Bandara Pattimura ke Hotel Transit Maluku = Rp. 2.000/orang/malam
Hotel Transit Maluku (VIP Room: 2 bed, KM dalam-tanpa pintu, AC, TV) = Rp. 80.000/orang
Angkot Hotel Transit Maluku - Pelabuhan Tulehu = Rp 5.000/orang
Kapal Cepat Cantika Express, Tulehu-Amahai = Rp 100.000/orang
Taksi Avanza = biaya tergantung tujuan, karena tidak pakai Argo, sebaiknya tawar menawar saja.
Masohi
ATM terakhir sebelum ke Saleman cuma ada di kota ini, BNI dan BRI,
Hotel Lulu di Masohi (Standard Room for 2 ppl: 2 bed, KM dalam+air panas, AC, TV) = Rp 150.000-Rp 200.000/orang/malam
Charter Taksi Avanza ke Saleman = rata-rata Rp 500.000/mobil 1x jalan
Ikan Bakar Warung Bambu Kuning = ditraktir, jadi tidak tahu.
terimakasih sudah berbagi pengalaman indah perjalan anda di bumi maluku...
ReplyDelete