Januari 2015.
Segara Anakan, Samudera Hindia, dan tenda-tenda.
Dengan kedok 'awalan yang positif di tahun yang baru', aku merencanakan perjalanan ke Pulau Sempu di Jawa Timur. Tidak banyak yang tertarik dengan rencana perjalananku. Aku menghubungi beberapa teman untuk bergabung bersama untuk pergi ke Sempu, tapi tanggapan yang kuterima kebanyakan negatif dengan beragam alasan yang berbeda-beda. Namun akhirnya terkumpul 3 orang lain: Bangkit, Fattah, dan Levy, yang nantinya akan bergabung di Malang.
Untuk paham betapa jengkelnya aku, mungkin aku harus mendeskripsikan bapak-bapak ini di awal cerita.
Kuperkirakan umurnya sekitar 40 an, perawakannya agak tambun dan tidak begitu tinggi. Bentuk badannya, dari leher ke kaki, persis Pinguin, musuh sejati seorang Batman. Dia tidak memakai tuksedo dan topi tinggi. Bedanya, dia memakai kemerja seadanya berwarna biru dongker, dengan dalaman berwarna sama. Tentu kemeja itu tidak dikancingkan, perutnya menyembul begitu saja diantara lembar kemejanya. Mukanya bulat, berkumis, wajahnya licin karena minyak, dan puncak kepalanya ditutup oleh rambut belah tengah yang sudah acak-acakan. Aku tebak dia adalah orang Perhutani, yang harus kami mintai ijin untuk masuk ke Sempu. Mendapati dia dalam keadaan awut-awutan, merokok, dan menyengir - aku langsung muak.
Aku melihat wajahnya dari luar jendela pos Perhutani. Aku hendak istirahat sejenak setelah perjalanan 3 jam lebih dari Malang menuju tempat ini, desa Sendang Biru. Belum sempat duduk, Fattah, yang lebih dulu menghadapi dia untuk mengurus administrasi bilang ada sedikit masalah. Aku segera malas-malasan masuk dan berhadapan dengan bapak itu.
"Jadi bagaimana pak?"
"Jadi maaf mas, kuota untuk hari ini sudah penuh, maksimal hanya 15 tenda di Segara Anakan."
Dia menyesap rokoknya dalam-dalam sebelum melanjutkan. Aku makin muak.
"Mohon maaf, hari ini sudah tidak bisa menyebrang, silakan kembali di lain waktu."
Akumulasi lelah perjalanan kereta malam dan naik motor sepanjang pagi diberi gong yang nikmat: kami dikabari kalau kami tidak bisa menyebrang. Dan aku makin kesal karena orang ini yang menyampaikan. Aku makin muak karena bau badannya amat sengak! Inilah akibatnya kalau kau merokok dan bermalas-malasan sepanjang hari di ruangan panas. Aku kesal setengah mati, namun aku tahan semua dan mencoba berdialog dengan kepala dingin. Aku ceritakan bahwa kami datang dari Jogja, waktu kami terbatas, dan kami belum pernah ke Sempu sama sekali. Tidak lupa kami bilang akan sopan dan tidak menyampah sepanjang perjalanan. Segala macam jilatan itulah. Dan akhirnya dia mulai buka mulut.
" Yaaa.. Karena masnya sudah datang dari jauh, dan sengaja hanya untuk ke tempat ini, kami pertimbangkan lagi. Cuma saat inni guidenya belum ada, dan lksdfsjfajhd sajdhfskajfhakjdfhakajfdhakjh dfjhwfl.."
Aku tidak begitu menyimak ucapannya, hanya saja ujung-ujungnya aku yakin adalah uang. Terang saja, di akhir kalimat, kami diminta menyediakan uang sebesar Rp 250.000 untuk membayar pemandu, tiap sepuluh orang, Rp 130.000 untuk sewa kapal pulang pergi, dan masing-masing diminta menyewa sepatu, sepuluh ribu sepasang. Itupun dengan jam berangkat yang belum pasti. Tapi apa ada pilihan lain? Aku mengiyakan, dan dia menulis namaku sekenanya di selembar kertas HVS. Dia mengesahkan keberadaan kami untuk masuk ke pulau dengan menulis namaku "ANIF" dengan hururf "F" yang terbalik, bersama dengan coretan "1 tenda, 4 org". Belum pernah aku sejengkel ini terhadap satu orang. Tapi masa bodohlah. Sesukamu saja.
Ada beberapa rombongan bernasib sama, dan kami harus menunggu lama di ruangan yang sama dengan bapak itu. Kami bersama terpaksa mendengarkan dia meracau tentang lingkungan cagar alam yang rusak, tentang flora dan fauna, tentang tingkat kesulitan treknya saat hujan, dan sebagainya. Dia juga bercerita tentang bahayanya trekking tanpa pemandu, karena adanya harimau dan macan kumbang di Pulau Sempu, apalagi jika malam tiba. Pembual, pikirku. "Setidaknya aku tidak akan bertemu dengan orang yang lebih menyebalkan dari kamu!", pekikku dalam hati. Aku putuskan istirahat sampai kapal dan pemandu kami tiba.
Perjalanan kami semua akhirnya dimulai jam 5 lebih. Setelah menyeberang dengan kapal sekitar 10 menit, kami mendarat di Teluk Semut, dan segera berjalan sebelum hari bertambah gelap, bergegas ke Segara Anakan.
Tapi ternyata apa yang kudapati di akhir perjalanan?
Orang-orang yang berangkat bersama kami, ternyata bukan tipe pecinta alam yang biasa kutemui di gunung. Saat memanjat Merbabu, Prau, serta trekking menuju Kawah Ijen, orang-orang berjalan rapi seperti semut. Berbaris kecil-kecil dalam alur tertentu, disiplin, dan selalu menyempatkan saling sapa. Disini? Tidak ada semua itu. Beberapa orang berteriak-teriak dari barisan belakang, terkadang ada ucapan sumpah serapah yang menyelip. Kita bisa mendapati beberapa botol plastik bekas yang masih baru, pertanda itu baru saja ditinggalkan oleh orang yang berjalan di depan kami. Saling sapa? Tidak ada semua itu, mereka cuma bergaul dengan kenalannya saja. Peralatan mereka pun tidak lebih meyakinkan. Ada yang masuk hutan bertelanjang kaki, ada yang membawa bekalnya dengan menenteng sebungkus plastik Indomaret. Cuma setengah dari kami yang membawa senter.
Di Segara Anakan, kondisinya tidak lebih baik. Ada orang menyalakan musik semalam suntuk. Saat pagi tiba di pinggir pantai, kudapati ribuan puntung rokok dan sobekan bungkus makanan berserakan. Air di pinggir pantai agak berbusa, sementara di beberapa titik ada bekas hangus dari api unggun, lengkap dengan sampah-sampahnya. Ada sudut-sudut yang berbau pesing dan amis. Aku kecewa sekali, karena terlepas dari itu, alamnya sangat indah. Aku sedikit demi sedikit merasa bersalah, dan mulai mengumpulkan sampah sebisanya dari pinggir pantai untuk dibawa pulang. Rasanya kalau kita membawa sampah pulang lebih banyak daripada sampah yang kita bawa masuk, alam akan lekas bersih. Tapi ada satu peristiwa yang sekali lagi mengecewakanku. Pelakunya seorang wanita, muda, rasanya kami sepantaran. Saat itu dia bilang begini.
"Mas, trash bag nya masih ada tempat ndak? Kita nitip ya?". Ucapan itu hampir serentak dengan gerakan dia memasukkan plastik sampahnya ke dalam trash bag ku. Benar, buat apa susah-susah membawa sampah kalau ada yang mau melakukan itu buat kita? Aku cuma diam, dan agak heran. Apa memang ada orang sebodoh ini? Kalau memang ada, Ya Tuhan, jangan biarkan aku bertemu dengan orang yang lebih bodoh dari ini!
Aku membuang pandangan ke arah air, dan melihat ada dua orang berenang dengan sambil mengibar-ngibarkan terpal ke tengah laut. Langit sedang gerimis.Coba tebak apa yang mereka lakukan?
Mereka membawa terpal itu untuk memayungi kepalanya supaya tidak basah dari air hujan saat mereka berenang.
Rasanya aku berhutang apologi kepada bapak Perhutani.
Ternyata banyak pak, yang lebih menjengkelkan daripada sampeyan.
*Tentu tidak semua orang berlaku demikian, ada juga yang ramah dan baik hati.
Di perjalanan pulang, ada satu rombongan yang menyewa porter untuk membawa sampah.
Guidenya juga sangat baik dan bersahabat.
No comments:
Post a Comment