Wednesday, February 11, 2015

Dua Malam di Labuan Bajo


Merapat ke pelabuhan


Matahari sudah nyaris menyentuh air saat feri ini menepi. Sudah delapan jam lebih kami terhuyung-huyung di atas laut. Ini pertama kalinya aku menginjak tanah Flores. Rasanya agak berdebar-debar, tapi melegakan juga akhirnya menginjak tanah.

Aku tidak punya ekspektasi tentang tanah ini sebelumnya, namun begitu keluar dari pelabuhan, kami berjalan sekitar beberapa ratus meter ke menyusuri jalan. Hari mulai gelap, jadi kami langsung mencari penginapan dan penyewaan kapal untuk esok pagi. Tak lama berjalan, kami singgah di sebuah kios kaki lima untuk mencoba-coba kacamata, dimana tiba-tiba Tiki mengambil jarak dan tertawa.

"Kenapa, Tik?"

"Nggak, tadi, mbak-mbak yang lewat ngecek kamu dari kepala sampai kaki nif. Hahaha."

Jadi menurut pengamatan singkatnya, aku tipe orang yang bentuknya 'dicari' di wilayah ini. Dia bilang, baru saja ada dua wanita yang memperhatikanku saat sedang mencoba-coba kacamata. Katanya tidak hanya sekali. Kalimat itu tentu dibumbu-bumbui olehnya, tapi aku tidak berani meremehkan insting wanita. Antara tersanjung dan malu, aku cuek saja dan lanjut memilih kacamata.

***

Perjalanan berlanjut dengan mencari penginapan. Dari kata seorang teman kami, ada sebuah penginapan kecil bernama "Nelayan", yang menyediakan kamar seadanya dengan harga 20.000 rupiah semalam. Kami menemukan penginapan itu, dan karena tidak menemukan tanda pintu masuk di depan, kami tinggalkan saja. Di sisi lain, bangunan itu sekilas tidak terlihat cukup baik. Belakangan kami diberi tahu, bahwa masuknya memang harus lewat belakang.

Kami memutuskan untuk ke daerah dekat pelabuhan nelayan untuk mencari kapal untuk esok pagi, terlebih hari mulai gelap. Akhirnya, aku dan Bana pergi mencari penginapan, sementara Fadil, Tiki, dan Sinto mencoba menawar harga sewa kapal di sebuah agen perjalanan. Aku dan Bana mendapat penginapan bernama "Pelangi", yang ternyata juga menyediakan tiket bus dari Labuan Bajo ke Lombok. Per orang harus membayar 50.000 rupiah per malam. Kami mengiyakan, mengambil dua kamar - untuk pria dan wanita, dan langsung saja kami jemput tiga orang lain yang ada di agen perjalanan. Semua tepat sebelum hujan deras.

Seperti apa penginapan 50.000 semalam? Tidak direkomendasikan, kecuali anda berhemat seperti kami.

Dari luar, bangunan terlihat bagus dan baru, tapi untuk harga 50.000, kamar yang kita dapat ada di bagian belakang bangunan, yang kontras dengan bagunan depannya. Bangunan ini berbeda massa dengan yang depan, dan tampak kusam dan tua. Kamarnya ada di lantai dua, dan bentuk susunan kamarnya persis seperti rumah kos; satu lorong, dengan kamar di kanan-kiri. Hanya saja antar kamarnya cuma disekat triplek. Dengkur seorang di kamar sebelah pasti anda dengar jelas dari kasur tempat anda berbaring.

Tapi kami tidak peduli, kami harus mandi dan beristirahat. Tapi hambatan baru muncul.

Kamar mandi tersedia di luar, di lantai bawah. Ada beberapa kamar mandi, mungkin 5 atau 6, yang semuanya diterangi lampu remang-remang. Pintunya dari seng berkarat, tidak ada kuncinya, dan bopeng-bopeng di bagian bawahnya. Bahkan tidak ada handel pintunya. Di kamar mandi ini kita diharuskan untuk selalu bersuara-untuk memberi tahu orang yang mau nyelonong masuk bahwa ada orang di dalam. Kami harus berdehem sepanjang waktu saat memakainya, sementara satu kaki harus mengangkang menahan pintu saat akan menciduk air di bak.

Ini cukup parah, namun hambatan tidak berhenti di situ. 

Sebelum tidur aku mengalasi kasur dengan sleeping bag. Dua teman sekamarku tidak. Mereka bentol-bentol digigit kutu semalaman, Fadil bahkan sempat mengambek tidak mau ikut ke Komodo karena sebal dan kecewa, meski akhirnya bisa dibujuk juga. Biar kutegaskan: di perjalanan kemanapun yang lebih dari 3 hari, selalu bawa sleeping bag. Benda ini istimewa!

Padahal aku ingat betul, sprei sudah kuminta untuk diganti sebelum kami masuk.

Saat itu, memang kondisi penginapan, terutama yang bagian belakang, sedang dalam masa konstruksi. Porak poranda. Ada bekas semen tercecer, dan kayu bekisting terserak begitu saja di sebelah kamar mandi. Harga 50.000 memang tidak membuatku banyak berharap, namun andai fasilitas yang kami dapat lebih baik dari yang kami temui saat itu, tentu menyenangkan.

***

Kami menyempatkan diri berkeliling kota ini dua kali. Di malam hari di hari kami mendarat, dan di malam terakhir sebelum pulang. Kami kembali dari destinasti terakhir; Pulau Kanawa menjelang magrib, jadi tidak banyak yang waktu yang tersisa setelah kami mandi untuk berkeliling kota.

Labuan Bajo, jika kita berjalan agak jauh menjauhi pelabuhan, terlihat seperti Seminyak. Di ujung bukit, nyala lampu hotel dan rumah-rumah seperti seribu kunang-kunang. Di pinggiran jalannya, kami banyak mendapati kafe dan resto menghadap laut, aku bahkan sempat membeli sorbet dan gelato pinggir jalan.



Pemilik modal disini, belakangan kami tahu, kebanyakan warga asing. Kapal-kapal wisata yang mengambang di sisi pelabuhan; kapal yang cantik, seperti kapal-kapal bajak laut dengan layar dan kabin yang bagus, biasanya dimiliki oleh kaum ekspatriat. Perancis, Belanda, dan semacamnya. Hotel-hotel yang berdiri juga dikabarkan dimodali oleh saudara kita dari negeri seberang. Mungkin tidak semua, tapi begitulah informasi yang beredar. Yang jelas dimiliki warga lokal mungkin kebanyakan berupa kapal nelayan, warung-warung, restoran, dan artshop.

Artshop, begitu toko suvenir disebut, menyela barisan warung makan yang berjejer rapi. Barang yang dijual pun bermacam-macam, mulai dari topi, topi lebar dari rajutan, kaos oblong, kaos barong, gantungan kunci, hingga gelang-gelang dan pernak-pernik serta aksesoris lainnya. Yang terutama wajib dicari di sini, menurutku adalah gelang karet bertuliskan "Komodo Island" warna-warni. Sukar sekali mendapatkannya, hingga akhirnya ada satu toko yang menjualnya dengan harga 25.000 sebuah. Mahal memang, tapi aku tidak punya pilihan lain karena tampaknya stoknya sedang habis dimana-mana, dan saat itu barang hanya tersisa 4 buah. Nilai tawar kami rendah, dan tampaknya si pedagang tidak tertarik bernegosiasi. Akhirnya aku ambil yang berwarna merah.

Hal lain yang jelas disupiri oleh warga lokal adalah angkot. Tampaknya ada lebih banyak kendaraan umum di Labuan Bajo daripada di Bali. Selain taksi, kita juga bisa menemukan angkot. Hanya saja, kami tidak sempat mencoba angkot di sini karena tujuan kami hanya sekitar pelabuhan. Lagipula, rasanya suasana dan tarif angkot dimana-mana hampir mirip, meski hampir pasti musiknya disetel keras-keras, khas penduduk Indonesia bagian Timur.

Ada satu restoran bernama Treetop yang menarik, bangunan itu di-finish kayu, dengan atap seperti lumbung padi di Lombok. Kabarnya, dari lantai dua, kita bisa mendapat ruang makan yang langsung menghadap Barat, melihat laut dan matahari terbenam. Kami salah momen saat itu, sehingga tidak bisa mampir dan mencari warung ikan bakar. 

Fadil bilang "pokoknya aku mau ikan bakar!", sehingga kami tidak punya pilihan lain. Dia sudah dikutui selama semalaman penuh, menolak permintaannya hanya berpotensi menambah konflik, aku takut dia mengambek. Jadi kami mencari penjual ikan bakar, dan menemukan satu jalan penuh warung ikan bakar. Kami duduk sembarang di salah satu meja, dan memesan ikan bakar dengan cepat, karena kami harus segera kembali ke penginapan untuk istirahat. Besok pagi-pagi sekali, kami harus ke pelabuhan mengejar bus kami ke Lombok.

Labuan Bajo adalah titik terjauh perjalanan kami, yang berarti bus besok adalah bus kami untuk kembali ke rumah. Setelah dua bulan lebih.Tidak sabar rasanya segera pagi, bergegas kembali ke rumah.

 Fadil menambahkan,

"Lebih baik aku tidur di bangku kapal dibanding kembali ke kasur penginapan!"

Mana bisa aku membantah?

No comments:

Post a Comment

Share