Siang hari bulan Agustus. Cuaca sangat terik saat kami mulai masuk ke sebuah teluk yang dirimbuni bakau. Pulau Rintja, atau Rinca, adalah destinasi kedua kami di gugusan kepulauan Komodo.
Kami agak bingung saat memutuskan akan melihat komodo dimana kemarin. Pulau Komodo atau Rinca? Namun setelah berpikir masak-masak, kami memutuskan pergi ke Rinca saja. Kabarnya hewan endemik ini lebih banyak ada di pulau ini. Namun kabarnya, di Pulau Komodo, kita bisa bertemu komodo yang berukuran lebih besar. Tapi toh kami belum pernah kemana-mana, Komodo maupun Rinca, jadi ya sudah, kami ambil Pulau Rinca saja, lagipula, jaraknya lebih dekat dengan Labuan Bajo, dan kami harus menghemat waktu.
Kami merapat untuk kedua kalinya tidak lama berselang, kali ini kami menginjak dek kayu yang terlihat kuat ditempa cuaca saat turun dari kapal. Beberapa meter di depan kami ada gerbang, dan tidak lama, kami langsung berjalan masuk.
Pulau ini kering sekali, pikirku. Selepas hutan bakau, kami menemui tanah-tanah yang retak oleh panas matahari. Rasanya kalau hujan area ini akan menjadi kubangan lumpur, tapi saat itu tidak ada jejak air sama sekali. Pandangan kami langsung terpaku pada rumah-rumah panggung yang berdiri di ujuang jalan setapak. Rasa-rasanya itu pos pertama, dimana kami harus mendaftar sebelum berkeliling.
Untuk berkeliling pulau, kami dengar kami harus menyewa ranger. Saat itu kukira maksudnya adalah mobil khusus, namun ternyata maksud dari ranger adalah seorang ahli. Mungkin pawang komodo, atau semacamnya. Setelah mendaftar, seorang ranger datang dan menjelaskan banyak hal kepada kami. Dia membawa tongkat yang ujungnya bercabang, sebagai senjata.
Trek yang bisa dipilih beragam, tapi pada umumnya ada 3 jenis: trek panjang, ringan, dan sedang. Berhubung waktu kami tidak banyak, kami memilih trek yang ringan dan singkat saja, yang nantinya berakhir di bukit. Untuk yang terjauh, bisa memakan waktu sampai 6 jam.
Omong-omong soal komodo, aku lupa bahwa mereka adalah aktor utama di sini. Aku membayangkan akan berada di tengah habitat binatang buas, sehingga awal-awal perjalanan aku memastikan alang-alang dan rerumputan di pinggir jalan setapak tidak menyembunyikan kadal besar itu. Tapi ternyata, komodo-komodo ini tidak seganas yang kubayangkan. Mungkin saat itu hari sedang terik dan semua reptil sedang berteduh, aku tidak tahu. Namun saat melintasi deretan rumah panggung, kami melihat banyak reptil besar ini ada di bawahnya. Oh, mereka bahkan dilempari sekeranjang kulit kepiting oleh salah seorang ranger. Mungkin ini yang membuat mereka manja.
" Sebenarnya itu tidak boleh."
Ranger kami memberi tahu.
" Itu bisa bikin mereka keenakan. Baru-baru ini ada satu ekor masuk ke dapur kami."
Dia menambahkan lagi.
"Meski terlihat jinak, kita mesti tetap hati-hati. Liurnya penuh kuman, yang bisa bikin kita mati dalam seminggu kalau tergigit. Lihat saja buktinya di sana." Dia menunjuk kumpulan tengkorak hewan yang terpancang di batang kayu untuk mengingatkan kami.
Kami melanjutkan jalan dan sampai di sarang komodo. Kami lihat banyak cerukan dan lubang di tanah. Belum lama kami memperhatikan, pak Ranger sudah menambahkan penjelasannya. Ini adalah tempat bersarang dan bertelurnya komodo. Sekali lagi kami diingatkan untuk mengecek sekitar. Benarkah yang mau kami duduki itu batang pohon? Ataukah ia seekor reptil yang sedang bersantai? Tentu akan merepotkan kalau salah satu dari kami teledor dan diserang.
"Saya pernah menolong turis asing yang pingsan saat trekking." ujarnya. "Bayangkan, saya harus repot-repot menggotong dia dari tengah hutan untuk dapat pertolongan pertama!"
Baik, pak, kami akan berhati-hati. Saya tidak akan meremehkan komodo, meski mereka terlihat lebih malas daripada mahasiswa pulang kampung. Apalagi kalau harus menggotong seorang kawan sampai kapal.
***
Perjalanan kami lanjutkan lagi, jalan terasa mulai menanjak. Kami menenggak air mineral dan duduk sejenak sebelum sampai puncak.
"Kalian bakal suka ini."
Pak ranger berkata demikian menjelang puncak bukit, dan benar saja, kami dapat pemandangan yang kami dambakan. Ini yang aku lihat dalam 360 derajat.
Waktu kami disini banyak habis di acara berfoto dan duduk-duduk. Panas matahari sedang mencapai puncaknya, tapi rasanya aku tidak peduli. Beruntunglah aku berangkat kemari.
***
Hari sudah agak sore saat kami kembali ke kapal untuk menuju Pulau Kanawa, destinasi terakhir kami. Pulau ini, atau mungkin sebagian besarnya, tampaknya sudah menjadi milik seseorang. Ada banyak cottage yang disewakan di tepian pantai, dimana kebanyakan penyewanya adalah turis asing. Kano-kano terserak terkena buih ombak di pinggir pantai, dan ada satu bangunan yang rasanya adalah tempat makan. Tidak banyak yang kami lihat, karena waktunya terbatas.
Air di bawah dermaga sangat jernih, dan lagi-lagi aku melihat penyu melintas. Aku tidak mencoba berenang di dalamnya, hanya berkeliling pulau sebentar, lalu kembali ke kapal. Kami harus kembali pulang sebelum malam, karena angin akan turun dan lautan akan segera menjadi gelap. Namun rasanya cukuplah perjalanan kali ini ditutup dengan sunset.
Seandainya saja kami bisa lebih lama diam disini.
No comments:
Post a Comment