Wednesday, May 25, 2016

Air Sumur, Air Galon

Saya baru pulang dari rumah sakit, dan beberapa tetangga di depan rumah saya sedang ribut-ribut. Saya pikir ada apa, ternyata air galon mereka habis. Kabarnya, sudah dicari kemana-mana,bahkan hingga satu supermarket di dekat terminal Batubulan sana, stoknya kosong semua. Minimarket dan warung warung dekat rumah juga habis.

Tak berapa lama, saya masuk rumah dan mengecek persediaan galon air. Ibu saya biasanya menyiapkan empat galon air sebagai persediaan. Setelah saya lihat, ternyata tiga galon sudah kosong, dan satu yang terpasang airnya hanya tersisa setengah. Meski hari ini kami bisa selamat dari bencana ketidakadaan galon ini, tampaknya besok kami harus mencari galon air di tempat yang agak jauh.

Heran. Kenapa tidak masak air saja?

Berasa menemukan ide yang cerdas, saya coba mengisi air dari keran dapur ke panci. Saya mau menunjukkan bahwa ada lho, cara sederhana seperti ini. Tapi ada yang aneh. Kucuran airnya terasa agak berbau. Saya ciduk lalu kumurkan sedikit, lalu saya segera muntahkan. Baunya seperti... logam. 

Belakangan saya tahu, biasanya rumah saya menggunakan air pam. Hari itu air pam juga sedang macet, lalu dialihkan ke air sumur. Air sumur rumah saya sudah tidak pernah dipakai lagi sejak lama, karena rasanya aneh. Bahkan untuk dipakai mandi saja sudah aneh, apalagi diminum? Jelas saja semua pada panik karena galon habis.

Saya ingat-ingat lagi kapan terakhir kali minum air yang dimasak dari sumur sendiri ya? Sepanjang kuliah di Jogja, saya selalu punya galon karena nggak punya dapur untuk masak air di kamar kos. Saat mengontrak bersama teman-teman pun, kami masih setia pada galon merek tertentu. Jadi kapan saya terakhir minum air yang dimasak? 

Dahulu, ada iklan yang mengisahkan bahwa ada beberapa anak yang tidak sekolah karena harus mengambil air jauh-jauh dengan menempuh jarak beberapa kilo dengan berjalan kaki. Mereka harus bolak balik mengambil air, sehingga memotong waktu sekolah. Kemudian dikisahkan mereka mendapat bantuan dengan cara mendekatkan sumber air tersebut dengan infrastruktur yang baik. Si anak pun berterima kasih: "Sekarang, sumber air sudekat. Beta tidak terlambat lagi". 

Lucu saja kalau ternyata sumber dari air galon yang saya minum di rumah saya ternyata berasal dari  mata air yang jaraknya puluhan kilo dari rumah saya. Karena artinya sumber air saya tidak lebih dekat dari mereka, dong?

Karena hal ini, saya jadi sedikit penasaran.

Sejak kapan kita jadi ketergantungan galon/air minum kemasan?
Berapa banyak orang yang masih minum air yang dimasak dari sumur?
Apa hanya di rumah saya saja yang air sumurnya sudah jelek?
Begitu banyak pertanyaan, tapi saya tidak berniat mencari jawabannya sekarang.

Sekarang lebih penting cari galon.

No comments:

Post a Comment

Share