Jarang-jarang saya menyetrika.
Saya paling tidak betah dengan kegiatan bernama menyetrika. Mengusap-usap kaos, kolor, dan kemeja berulang-ulang dengan logam panas sama sekali tidak menyenangkan buat saya. Saya tidak pernah cocok dengan kegiatan melakukan sesuatu berulang-ulang di satu tempat. Gosok sana, semprot pengharum sini, lipat situ, tumpuk. Gosok sana, semprot sini, lipat situ, tumpuk... Dan seterusnya.
Saya tidak pernah dengan suka hati menyetrika, karena itu, saya adalah penggemar jasa cuci berbayar sepanjang kuliah. Ibu-ibu tukang cuci selalu menyambut saya dengan sumringah. Rekor saya menyetor pakaian dalam sekali waktu adalah lima belas kilo. Nama saya selalu dihapal dengan ibu-ibu tukang cuci, sehingga satu waktu saya lupa membawa uang, mereka membiarkan saja saya lepas tanpa membayar, mereka yakin sekali saya akan kesana lagi beberapa hari lagi. Mungkin pikir mereka saya tidak akan kabur, karena saya yang butuh mereka.
Tapi bukan berarti saya tidak pernah mencuci. Sekalinya saya mencuci sendiri, saya hanya mencuci kaos-kaos yang sifatnya dipakai asal-asalan dirumah saja, celana dalam, baju barong, kaos kaki, ataupun jersey futsal. Kenapa? Mudah saja, karena saya tidak perlu menyetrika mereka. Tidak ada yang peduli baju saya masih lecek atau sudah licin di kamar kos saya.
Yang benar-benar saya hindari adalah menyetrika.
***
Suatu hari, panas Jogja begitu terik, dan saya bangun agak siang pada hari Sabtu. Saya habiskan awal hari saya dengan bergoler-goler di kasur tanpa berbuat apapun. Hal ini berlangsung biasanya antara setengah jam hingga satu jam, sampai akhirnya rasa malu pada diri sendiri tiba-tiba muncul.
"Tidak bisa begini. Bangun, Hanif. Kamu harus produktif hari ini.", biasanya adalah kalimat yang muncul pertama dalam hati.
"Tapi saya masih mengantuk, lagipula mau apa di luar?", adalah kalimat yang sering muncul mengikuti kalimat pertama.
Monolog dalam otak saya biasanya terdiam selama beberapa saat, hingga akhirnya muncul kalimat ketiga, "Apa yang saya bisa perbuat hari ini?".
Jawaban atas kalimat ketiga, biasanya adalah kembali tidur, atau menjelajah internet - yang berarti jari tangan saya akan menempel di tetikus hingga siang hari berlalu. Saya bukannya tidak lapar, hanya saja saat pagi sudah lewat, saya akan menggabung porsi sarapan dengan makan siang. Hal ini lebih praktis, dan tentu lebih hemat.
Kegiatan bergoler-goler saya di kasur akhirnya mendaratkan pandangan saya kepada keranjang cucian saya di pojokan kamar. Keranjang bundar itu terbuat dari rotan lengkap dengan tutupnya, mirip seperti ember air. Di dalamnya sudah saya lapisi dengan kresek hitam yang cukup besar untuk menampung pakaian. Biasanya, sebelum keresek itu penuh, saya sudah menyetorkan isinya ke tukang cuci langganan saya. Tapi kali ini, ada dua keresek sebesar keranjang baju saya, dan semuanya berisi pakaian kotor. Mungkin lebih dari lima belas kilo, pikirku. Ibu-ibu pencuci pasti sumringah melihat saya membawa dua keresek besar. Rasanya kali ini saya akan coba mencuci baju saya sendiri.
Singkatnya, saya beranjak bangun, dan baju-baju segera saya pilah-pilah: dalaman dan kaos kaki, kaos berwarna gelap, kaos berwarna terang, kemeja-kemeja, jaket, dan celana jeans. Tiga kategori terakhir biasanya akan tetap saya serahkan ke ibu-ibu tukang cuci, sedang sisanya saya akan bereskan sendiri. Hari betul-betul terik, namun tampaknya mencuci tidak seburuk yang saya duga. Merendam-rendam baju dan mengaduknya bersama deterjen ternyata sangat menyegarkan di hawa sepanas ini. Setelah semua direndam dan digosok-gosok, saya bilas dan saya celupkan lagi ke ember berisi air bersih. Tidak lupa mencelupkan satu tutup botol pelembut. Ember cucian itu harus saya diamkan selama beberapa waktu, jadi saya ambil handuk dan mandi. Setelah mandi, semua baju saya peras dan langsung saya jemur. Berdasar pengalaman saya dua bulan di Sumbawa, dengan terik yang seperti ini, baju-baju ini akan kering pada sore hari, mungkin sekitar pukul lima.
Tantangannya justru baru akan dimulai setelah semua kering.
***
Dan akhirnya, disinilah saya. Duduk di atas karpet kamar, berhadap-hadapan dengan setumpuk cucian kering, dipisahkan selembar sarung yang akan menjadi alas setrikaan. Saya menyetel tuas pengatur panas ke angka lima, menunggu sebentar, dan mulai menggosok kaos pertama saya. Tidak ada meja yang bisa digunakan sebagai alas, jadi saya ambil posisi duduk bersila, dan harus membungkuk untuk menggosok tiap helai cucian. Ini membuat semuanya menjadi dua kali lipat lebih berat buat saya.
Tampaknya, saya tidak mencuci dengan sempurna. Saat menggsok baju, saya melihat hal yang saya jarang perhatikan sebelumnya. Di kemeja saya masih ada titik kuning yang entah darimana. Saya ingat-ingat lagi, ternyata itu kuah opor dari lebaran lalu! Ya, saya ingat sekali! Saya beli kemeja itu beberapa hari sebelum lebaran tahun 2012, dan kuah itu terciprat saat saya menyendok kuah opor. Heran, karena kuah itu berarti tidak hilang meski sudah saya bawa ke tukang cuci berkali-kali.
Yang berikut adalah kemeja kesayangan saya yang hampir saya bawa kemanapun saya jalan. Kemeja kotak-kotak coklat ini sudah pernah ke Bandung, Sumbawa, Singapura, Vietnam, Ambon, hingga ke Sorong. Kemeja ini sudah pernah ke puncak Gunung Merbabu, masuk ke dalam Kawah Ijen, dijemur di atas bukit Pulau Rinca, bahkan menerabas hutan di Papua. Kerahnya mulai memudar, dan kancingnya hilang satu. Umurnya memang sudah lama. Saya beli kemeja ini tahun 2010, saat saya baru masuk kuliah di Jogja, dan tersadar bahwa saya tidak punya banyak kemeja untuk berkuliah. Belakangan saya paham, bahwa di kampus saya, mahasiswa boleh menggunakan kaos.
Nostalgia baju berlanjut, ternyata banyak hal yang saya ingat dari kegiatan setrika ini. Tiap helai yang saya gosok ternyata punya kenangan. Saya ingat bahwa kaos UNKL ini saya beli di Bandung saat saya masih magang. Saya ingat bahwa kaos Giordano saya ini saya beli di Discovery Mall Bali. Ada sweater yang saya beli bersama sahabat kontrakan saya di Centro, dan ada kemeja yang saya rampas dari adik saya saat saya mampir di Malang.
Celana pantai saya kebanyakan berasal dari acara Big Sale di Kuta, saya pernah mendapati orang yang menggunakan celana pantai yang sama saat saya mengisi bensin. Kami saling melihat dan tersenyum bersama, karena sama-sama sadar bahwa tampaknya kami berbelanja di tempat yang sama. Menyetrika kali ini berasa minum Cerebrovit. Saya merasa cerdas. Ternyata saya pandai mengingat juga, ya.
***
Sayangnya, perilaku otak saya sangat misterius.
Kemampuan mengingat ini tidak berlaku di segala bidang. Dalam pelajaran Biologi misalnya, sepanjang SMA, yang saya ingat baik mungkin hanya kata monokotil dan dikotil. Satu biji, dua biji. Saya ingat amygdala sebagai bagian yang mengatur emosi dalam otak karena film Star Wars. Anda tahu ada 200-an tulang dalam tubuh dan mereka diberi nama? Tulang bernama femur, fibula, tibia saya hapal karena berita cedera sepak bola. Selebihnya? Mbuh. Karena itu selama SMA saya tidak pernah masuk 10 besar.
Seandainya saja saya bisa semudah itu mengingat banyak hal, seperti nama orang misalnya, mungkin saya bakal lebih pandai dan supel dalam bergaul. Saya sukar sekali mengingat-ingat nama orang yang baru kenal. Perlu lebih dari satu-dua semester buat saya mengingat nama teman-teman angkatan saya di kampus. Akibatnya, pada semester awal saya jarang menyapa orang. Tidak banyak orang tahu rahasia saya ini, sampai satu peristiwa terjadi. Saat itu saya sedang duduk-duduk bersantai di selasar kampus. Saya lupa persisnya bagaimana, tapi dalam satu obrolan yang cukup panjang, teman saya Juri tiba-tiba menodong saya.
"Nih, nif! Dia namanya siapa?"
Sambil nunjuk orang bersangkutan. Perempuan berkerudung.
Dia lihat saya. Saya lihat dia. Mampus.
"Juri kampret!!!". Saya teriak dalam hati.
Saya lihat wajahnya, tidak ada nama yang mucul di benak saya. Saya blank. Saya nggak tahu. Saya nggak bisa menjawab. Ada jeda waktu beberapa detik yang membuat banyak orang tersadar bahwa saya nggak ingat nama teman angkatan sendiri. Rasanya super nggak enak.
Belakangan saya tahu namanya Rista. Halo, Rista, kalau kamu baca ini.
Peristiwa seperti ini memang langka, dan menyadarkan saya bahwa saya tidak pandai-pandai banget, ya. Tapi melihat saya bisa menghapal harga beli, tempat beli, dan asal noda di baju seharusnya saya bisa dong mengingat hal sepele seperti nama teman? Otak saya memang misterius. Atau saya harus coba stimulasi ingatan saya dengan cara lain?
Menyetrika memang membantu mengingat-ingat beberapa hal pada pakaian, tapi sayangnya saya nggak diperbolehkan secara hukum untuk melakukan hal yang sama kepada wajah teman-teman saya.
Saya paling tidak betah dengan kegiatan bernama menyetrika. Mengusap-usap kaos, kolor, dan kemeja berulang-ulang dengan logam panas sama sekali tidak menyenangkan buat saya. Saya tidak pernah cocok dengan kegiatan melakukan sesuatu berulang-ulang di satu tempat. Gosok sana, semprot pengharum sini, lipat situ, tumpuk. Gosok sana, semprot sini, lipat situ, tumpuk... Dan seterusnya.
Saya tidak pernah dengan suka hati menyetrika, karena itu, saya adalah penggemar jasa cuci berbayar sepanjang kuliah. Ibu-ibu tukang cuci selalu menyambut saya dengan sumringah. Rekor saya menyetor pakaian dalam sekali waktu adalah lima belas kilo. Nama saya selalu dihapal dengan ibu-ibu tukang cuci, sehingga satu waktu saya lupa membawa uang, mereka membiarkan saja saya lepas tanpa membayar, mereka yakin sekali saya akan kesana lagi beberapa hari lagi. Mungkin pikir mereka saya tidak akan kabur, karena saya yang butuh mereka.
Tapi bukan berarti saya tidak pernah mencuci. Sekalinya saya mencuci sendiri, saya hanya mencuci kaos-kaos yang sifatnya dipakai asal-asalan dirumah saja, celana dalam, baju barong, kaos kaki, ataupun jersey futsal. Kenapa? Mudah saja, karena saya tidak perlu menyetrika mereka. Tidak ada yang peduli baju saya masih lecek atau sudah licin di kamar kos saya.
Yang benar-benar saya hindari adalah menyetrika.
***
Suatu hari, panas Jogja begitu terik, dan saya bangun agak siang pada hari Sabtu. Saya habiskan awal hari saya dengan bergoler-goler di kasur tanpa berbuat apapun. Hal ini berlangsung biasanya antara setengah jam hingga satu jam, sampai akhirnya rasa malu pada diri sendiri tiba-tiba muncul.
"Tidak bisa begini. Bangun, Hanif. Kamu harus produktif hari ini.", biasanya adalah kalimat yang muncul pertama dalam hati.
"Tapi saya masih mengantuk, lagipula mau apa di luar?", adalah kalimat yang sering muncul mengikuti kalimat pertama.
Monolog dalam otak saya biasanya terdiam selama beberapa saat, hingga akhirnya muncul kalimat ketiga, "Apa yang saya bisa perbuat hari ini?".
Jawaban atas kalimat ketiga, biasanya adalah kembali tidur, atau menjelajah internet - yang berarti jari tangan saya akan menempel di tetikus hingga siang hari berlalu. Saya bukannya tidak lapar, hanya saja saat pagi sudah lewat, saya akan menggabung porsi sarapan dengan makan siang. Hal ini lebih praktis, dan tentu lebih hemat.
Kegiatan bergoler-goler saya di kasur akhirnya mendaratkan pandangan saya kepada keranjang cucian saya di pojokan kamar. Keranjang bundar itu terbuat dari rotan lengkap dengan tutupnya, mirip seperti ember air. Di dalamnya sudah saya lapisi dengan kresek hitam yang cukup besar untuk menampung pakaian. Biasanya, sebelum keresek itu penuh, saya sudah menyetorkan isinya ke tukang cuci langganan saya. Tapi kali ini, ada dua keresek sebesar keranjang baju saya, dan semuanya berisi pakaian kotor. Mungkin lebih dari lima belas kilo, pikirku. Ibu-ibu pencuci pasti sumringah melihat saya membawa dua keresek besar. Rasanya kali ini saya akan coba mencuci baju saya sendiri.
Singkatnya, saya beranjak bangun, dan baju-baju segera saya pilah-pilah: dalaman dan kaos kaki, kaos berwarna gelap, kaos berwarna terang, kemeja-kemeja, jaket, dan celana jeans. Tiga kategori terakhir biasanya akan tetap saya serahkan ke ibu-ibu tukang cuci, sedang sisanya saya akan bereskan sendiri. Hari betul-betul terik, namun tampaknya mencuci tidak seburuk yang saya duga. Merendam-rendam baju dan mengaduknya bersama deterjen ternyata sangat menyegarkan di hawa sepanas ini. Setelah semua direndam dan digosok-gosok, saya bilas dan saya celupkan lagi ke ember berisi air bersih. Tidak lupa mencelupkan satu tutup botol pelembut. Ember cucian itu harus saya diamkan selama beberapa waktu, jadi saya ambil handuk dan mandi. Setelah mandi, semua baju saya peras dan langsung saya jemur. Berdasar pengalaman saya dua bulan di Sumbawa, dengan terik yang seperti ini, baju-baju ini akan kering pada sore hari, mungkin sekitar pukul lima.
Tantangannya justru baru akan dimulai setelah semua kering.
***
Dan akhirnya, disinilah saya. Duduk di atas karpet kamar, berhadap-hadapan dengan setumpuk cucian kering, dipisahkan selembar sarung yang akan menjadi alas setrikaan. Saya menyetel tuas pengatur panas ke angka lima, menunggu sebentar, dan mulai menggosok kaos pertama saya. Tidak ada meja yang bisa digunakan sebagai alas, jadi saya ambil posisi duduk bersila, dan harus membungkuk untuk menggosok tiap helai cucian. Ini membuat semuanya menjadi dua kali lipat lebih berat buat saya.
Tampaknya, saya tidak mencuci dengan sempurna. Saat menggsok baju, saya melihat hal yang saya jarang perhatikan sebelumnya. Di kemeja saya masih ada titik kuning yang entah darimana. Saya ingat-ingat lagi, ternyata itu kuah opor dari lebaran lalu! Ya, saya ingat sekali! Saya beli kemeja itu beberapa hari sebelum lebaran tahun 2012, dan kuah itu terciprat saat saya menyendok kuah opor. Heran, karena kuah itu berarti tidak hilang meski sudah saya bawa ke tukang cuci berkali-kali.
Yang berikut adalah kemeja kesayangan saya yang hampir saya bawa kemanapun saya jalan. Kemeja kotak-kotak coklat ini sudah pernah ke Bandung, Sumbawa, Singapura, Vietnam, Ambon, hingga ke Sorong. Kemeja ini sudah pernah ke puncak Gunung Merbabu, masuk ke dalam Kawah Ijen, dijemur di atas bukit Pulau Rinca, bahkan menerabas hutan di Papua. Kerahnya mulai memudar, dan kancingnya hilang satu. Umurnya memang sudah lama. Saya beli kemeja ini tahun 2010, saat saya baru masuk kuliah di Jogja, dan tersadar bahwa saya tidak punya banyak kemeja untuk berkuliah. Belakangan saya paham, bahwa di kampus saya, mahasiswa boleh menggunakan kaos.
Nostalgia baju berlanjut, ternyata banyak hal yang saya ingat dari kegiatan setrika ini. Tiap helai yang saya gosok ternyata punya kenangan. Saya ingat bahwa kaos UNKL ini saya beli di Bandung saat saya masih magang. Saya ingat bahwa kaos Giordano saya ini saya beli di Discovery Mall Bali. Ada sweater yang saya beli bersama sahabat kontrakan saya di Centro, dan ada kemeja yang saya rampas dari adik saya saat saya mampir di Malang.
Celana pantai saya kebanyakan berasal dari acara Big Sale di Kuta, saya pernah mendapati orang yang menggunakan celana pantai yang sama saat saya mengisi bensin. Kami saling melihat dan tersenyum bersama, karena sama-sama sadar bahwa tampaknya kami berbelanja di tempat yang sama. Menyetrika kali ini berasa minum Cerebrovit. Saya merasa cerdas. Ternyata saya pandai mengingat juga, ya.
***
Sayangnya, perilaku otak saya sangat misterius.
Kemampuan mengingat ini tidak berlaku di segala bidang. Dalam pelajaran Biologi misalnya, sepanjang SMA, yang saya ingat baik mungkin hanya kata monokotil dan dikotil. Satu biji, dua biji. Saya ingat amygdala sebagai bagian yang mengatur emosi dalam otak karena film Star Wars. Anda tahu ada 200-an tulang dalam tubuh dan mereka diberi nama? Tulang bernama femur, fibula, tibia saya hapal karena berita cedera sepak bola. Selebihnya? Mbuh. Karena itu selama SMA saya tidak pernah masuk 10 besar.
Seandainya saja saya bisa semudah itu mengingat banyak hal, seperti nama orang misalnya, mungkin saya bakal lebih pandai dan supel dalam bergaul. Saya sukar sekali mengingat-ingat nama orang yang baru kenal. Perlu lebih dari satu-dua semester buat saya mengingat nama teman-teman angkatan saya di kampus. Akibatnya, pada semester awal saya jarang menyapa orang. Tidak banyak orang tahu rahasia saya ini, sampai satu peristiwa terjadi. Saat itu saya sedang duduk-duduk bersantai di selasar kampus. Saya lupa persisnya bagaimana, tapi dalam satu obrolan yang cukup panjang, teman saya Juri tiba-tiba menodong saya.
"Nih, nif! Dia namanya siapa?"
Sambil nunjuk orang bersangkutan. Perempuan berkerudung.
Dia lihat saya. Saya lihat dia. Mampus.
"Juri kampret!!!". Saya teriak dalam hati.
Saya lihat wajahnya, tidak ada nama yang mucul di benak saya. Saya blank. Saya nggak tahu. Saya nggak bisa menjawab. Ada jeda waktu beberapa detik yang membuat banyak orang tersadar bahwa saya nggak ingat nama teman angkatan sendiri. Rasanya super nggak enak.
Belakangan saya tahu namanya Rista. Halo, Rista, kalau kamu baca ini.
Peristiwa seperti ini memang langka, dan menyadarkan saya bahwa saya tidak pandai-pandai banget, ya. Tapi melihat saya bisa menghapal harga beli, tempat beli, dan asal noda di baju seharusnya saya bisa dong mengingat hal sepele seperti nama teman? Otak saya memang misterius. Atau saya harus coba stimulasi ingatan saya dengan cara lain?
Menyetrika memang membantu mengingat-ingat beberapa hal pada pakaian, tapi sayangnya saya nggak diperbolehkan secara hukum untuk melakukan hal yang sama kepada wajah teman-teman saya.
No comments:
Post a Comment